WAKTU

JEDA

Sabtu, 16 November 2013

#5bukudalamhidupku: Yang Pernah Hidup dari Remi Porno dan Stensilan Enny Arrow


Yang pernah Hidup dari Remi Porno dan Stensilan Enny Arrow

Siang itu saya bergegas ke rumah teman saya, Agus Boncu. Siang itu jam. 13.00. Jalanan kampung saya sepi. Kebanyakan warga pada tidur. Pelan-pelan saya ketuk pintu kamarnya yang tepat bersebelahan dengan pintu utama. Teman saya membukakan pintu sembari mengucek-ngucek mata.

                “Reminya masih ada, Mas?” saya membuka pembicaraan. Dia mengangguk. Kemudian melebarkan pintu kamarnya. Mengijinkan saya masuk. Dia mengeluarkan setumpuk kartu remi dari balik kasurnya. Saya memilih, setelah menemukan gambar yang pas saya menyerahkan uang Rp. 1.000,-

                “Sekalian nyewa Enny Arrownya, Mas?” dia naik ke ranjang. Merogoh lubang di langit-langit kamarnya. Lalu menyerahkan 10 buku Anni Arrow pada saya. 

                “Waktunya seminggu. Kalo hilang, kena denda Rp. 5.000,-“ dia berujar. Saya diam sambil terus memilih. Setelah beberapa menit memilih, saya memutuskan mengambil buku di urutan pertama sembari kembali menyerahkan uang Rp. 1.000,- 

                Begitu transaksi selesai saya bergegas pulang. Siang itu tahun 1996. Sekitar bulan Januari. Saya duduk di kelas satu SMA kala itu. Kartu remi yang saya beli bukan sembarang kartu. Kartu itu bergambar adegan dua manusia berlainan jenis yang tengah senggama. Gambarnya macam-macam. Mulai yang berwajah bule hingga yang berwajah asia ada. Posisi senggamanya macam-macam. Saat itu saya punya empat kartu remi seperti itu. Membeli dari orang yang berbeda. Setelah membeli satu kartu remi dari Agus Boncu, otomatis saya punya lima kartu remi porno kala itu.

                Sementara buku Enny Arrow adalah buku stensilan. Semua buku yang ditulis pengarang yang sosoknya masih misterius hingga sekarang itu berbau seks. Erotis sekaligus vulgar. Deskripsi tentang adegan seks dua manusia berlainan jenis begitu detail. Kata penis, vagina, tempek, memek, toket, kontol bertebaran tanpa tedeng aling-aling di setiap halaman-halaman novelnya. Termasuk juga desahan dan erangan. Majas hiperbola juga kerap dimainkannya. Seperti kepala boa untuk menyebut penis sering saya temui. Alur ceritanya runut dan sederhana. Laki-laki perempuan bertemu, melakukan senggama, kemudian keduanya orgasme dan selesai. Di cerita yang lain yang pernah saya baca, Enny Arrow pernah mengambil tema pemerkosaan. Seorang perempuan disetubuhi lima orang laki-laki. 

                Tak seperti buku umumnya, buku Enny Arrow di halaman terakhir tak mencantumnya biografi penulisnya. Penerbitnyapun juga tak beralamat. Di halaman belakang hanya ada tulisan; penerbit mawar. Dibawahnya terdapat gambar mawar.

                Di masa dimana kuku kekuasaan Orde Baru masih kuat menancap, terutama di tahun 1980 an hingga 1990 an, penjualan remi porno dan buku stensilan Enni Arrow merupakan ‘jalan pintas’ anak-anak muda mendapatkan referensi tentang seks. Sensor kala itu begitu ketat. Seks tabu dibicarkan dengan vulgar. Praktek pelacuran marak, tapi rejim fasis orde baru menghaluskannya dengan sebutan lokalisasi. Judi marak dan legal. Namanya begitu ‘mewah’; Sumbangan Dana Sosial Berhadiah atau yang kerap dikenal dengan SDSB. Tapi rejim dengan sensor serba ketat ditengah kemunafikan-kemunafikan rejim atas ‘penyakit masyarakat’ itu dijawab dengan peredaran remi porno dan buku-buku Enni Arrow di bawah tanah. Jangan cari kedua benda itu di toko buku resmi di jaman orde baru seperti Gramedia atau Gunung Agung. sampek semutanpun tidak akan menemukannya. Carilah keduanya di pedagang asongan dan penjual koran di terminal. 

                Boleh dikata Enny Arrow adalah pelopor dalam genre buku erotis di era Orde Baru. Perpaduan cerita dengan gambar sekaligus. Di saat Majalah Horizon sibuk memoles karya humanisme universal, Enny Arrow menggebrak dengan cerita-cerita binal. Di saat seks menjadi begitu tabu di era orde baru, buku-buku Enny Arrow terus mengalami cetak ulang. Di saat majalah Fakta menampilkan berita kriminal dengan mata pelaku ditutup kotak hitam, atau belahan payudara seorang pelacur diblurkan, Enni Arrow dengan enteng menampilkan gambar-gambar senggama. plus teks desahan-desahan yang tidak mungkin tak membuat pembacanya tegang.

                Makanya tak berlebihan jika sebuah survei yang dilakukan majalah “Men’s Health’ edisi Indonesia pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa sekitar 17,2% remaja menjadi buku Enny Arrow sebagai sumber pertama pengetahuan tentang seks. 

                Sukses Enny Arrow lewat buku-buku kemudian disusul banyak penulis pseudonim yang mencoba peruntungan serupa. Menulis cerita tentang seks. Tapi terlambat. Enny Arrow terlanjur jadi ikon penulis buku stensilan bergenre seks. Sebenarnya di masa kejayaan Enny Arrow beredar juga novel Nick Carter. Juga tak jelas siapa pengarangnya. Saya sendiri tak pernah membaca Nick Carter. Tapi ketika saya duduk di kelas tiga SD, saya kerap melihat Ibu membaca buku itu sambil tiduran. Biasanya beliau nyewa di persewaan buku. Belakangan baru saya tahu kalau Nick Carter juga punya cerita seks. Tapi cerita seks di Nick Carter Cuma bumbu saja. tidak penuh dari awal sampai akhir seperti Enny Arrow

                Ada pula buku stensilan sejenis yang cukup terkenal, yakni Fredy S. Tetapi Fredy S lebih memilih genre remaja. Dalam hal ini Fredy S tak sendirian sebenarnya. Banyak penulis pseudonim yang juga menggarap cerita remaja yang Kebanyakan mengulas cerita cinta yang klise yang dibumbui cerita seks yang cenderung setengah hati. Semisal Monica. Kalau boleh diklasifikasi Enny Errow menulis seks hardcore, maka Fredy S softcore.

Esoknya, setelah mendapatkan buku Enni Arrow hasil nyewa dan membeli remi porno tadi, saya membawa keduanya ke sekolah. Kerap membawa buku Enny Arrow dan beberapa lembar remi porno ke sekolah membuat saya jadi punya banyak teman. Tentu saja teman-teman yang agak nakal. Kalau yang ‘pintar’ tidak mau ikutan. Mereka sibuk dengan pelajaran. Entah membicarakan PR Matetika yang sulit atau membahas kegiatan ekstakulikuler. Kadang kita saling bertukar pinjam buku Enny Arrow. Melalui Enny Arrow dan remi porno kita bersosialisasi, berinteraksi antar teman. Tentu membawanya harus hati-hati, jangan sampai tetangkap tangan saat razia di sekolah.

Saya sendiri tak pernah kena razia. Tapi kala kelas tiga SMA saya ketiban sial. Seorang teman terkena razia. Di dompetnya kedapatan menyimpan sebuah remi porno. Dia diinterogasi di ruang BP. Mungkin karena ditekan dan diancam, akhirnya teman saya mengaku, kalau remi porno itu saya yang kasih. Maka, dipanggillah saya juga ke ruang BP. Berdua kami jadi tersangka. Disuruh membuat surat pernyataan yang ditandatangani orang tua. Tapi saya tak pernah kehilangan akal. Saya ‘tembak’ aja tandatangan Bapak. Caranya biar persis saya berlatih meniru tanda tangan Bapak semalam. 

Hari-hari ini barangkali remaja sekarang akan sulit mencari buku stensilan Enny Arrow. Tapi mencari cerita seks tentu saja gampang. Di zaman saya kuliah di tahun 2000an ada situs bernama www.17tahun.com yang isi ceritanya sama persis seperti Enny Arrow. Katagorinya macam-macam. M
ulai cerita seks konvensional, insest, paruh baya, masturbasi, hingga cerita seks tentang senggama manusia dengan hewan.

Tapi terlepas dari perkembangan dunia bacaan seks yang kian gegas, secepat laju internet kenangan tentang buku-buku Anny Arrow tetap tak tergantikan. Buku-buku itu jadi satu-satunya novel yang sering saya baca di kamar mandi.

Jadi jika di tahun 2000an ada penulis bernama Ayu Utami dengan novelnya berjudul Saman digadang-gadang sebagai penulis perempuan yang mendobrak tabu seksualitas dan novelnya dikatakan novel ‘berani’ di tahun-tahun awal pasca tumbangnya orde baru, saya cuma senyum-senyum sambil berkata: “Eh, Mbaknya waktu Enny Arrow berjaya kemana aja sih?”

               
#5Bukudalamhidupku