WAKTU

JEDA

Rabu, 13 November 2013

#5BukuDalamHidupku: Telepon dari Bapak dan Buku Menjadi Manusia Pembelajar


#5BukuDalamHidupku

Telepon dari Bapak dan Buku Menjadi Manusia Pembelajar



”Kamu lulus UMPTN. Berarti kamu anak muda pilihan. Kalau kamu tak sanggup mempertahankan keberhasilanmu lulus UMPTN dengan IPK cuma 2,0 ini, mending balik ke Madura. Bapak belikan becak. Kamu ngayuh becak di sini!” 

Plak! Kalimat terakhir bapak di telepon benar-benar menampar perasaan saya. Saya gemetar. Saya berjalan ke kamar kos dengan gontai. Hari itu, 12 November 2000. Udara di Jember begitu dingin. Sementara saya di kamar kos terbakar sendirian. Marah, sedih, jengkel, berkecamuk jadi satu. 

Saya paham bapak kecewa dengan hasil belajar saya di kampus. Membaca transkip nilai saya yang dikirimkan ke rumah saya di Madura. 

Tapi saya merasa bapak saya tidak paham bahwa saya tak menyukai jurusan ini. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Kesejahteraan Sosial. Jurusan apa ini? Saya memilihnya ketika ujian UMPTN sebagai pilihan kedua. Pilihan pertama saya Hubungan Internasional UNAIR. Dan Bapak yang memaksa saya mengambil kesempatan itu. Meskipun saya berniat untuk menganggur satu tahun dan akan ikut UMPTN lagi tahun depan. 

”Ambil. Itu rejeki kamu. Jangan sia-siakan rejeki yang udah kamu dapat. Tahun depan, jika misalnya, kamu ikut lagi UMPTN tentu nggak akan seberuntung itu. Lagipula sekolah kian tahun kian mahal. Makin cepat lulus, makin bagus. Adikmu dua. Kau harus juga pikirkan itu. Tiap tahun bapak tambah tua. Dengan ada satu anak yang lulus bapak bisa sedikit ‘bernafas’ dan nggak ngoyo cari duit” ujar Bapak ketika kami berdua berjalan pulang dari pasar pagi depan rumah sakit harapan kita Jakarta Barat. 

Ya. Waktu pengumuman UMPTN tahun 1999 saya ada di Jakarta, diajak liburan paman saya (adik ibu) yang tinggal di Jakarta. Bapak kebetulan baru aja usai pelatihan penyuluh kehutanan di Bogor tiga bulan. Dan mampir untuk menjemput saya pulang ke Madura. 

Setelah telepon itu, seharian saya meringkuk di kamar. Tidak ikut jadwal kuliah. Malas. Jiwa muda saya terusik. Saya merasa apa yang dibicarakan Bapak benar. Saya menyia-nyiakan banyak kesempatan. Saya memang tak pernah memperhatikan semua mata kuliah dengan baik. Datang, duduk, diam, dugem. Tak pernah beli buku kuliah. Setiap uang kiriman selalu saya habiskan untuk beli celana jeans dan baju baru. Tapi hati kecil saya yang lain berbisik; tidak bolehkah saya bersenang-senang sejenak atas segala kejenuhan bersekolah di SLTA dengan jadwal yang serba ketat dan membosankan itu? saya ingin santai. Menikmati masa muda. 

Tiba-tiba pikiran saya melintas ke masa silam. Pertengahan tahun 1998. Saya tidak ingat tanggalnya. Tapi tengah malam itu saya terjaga dari tidur dan bergegas ke kamar mandi. Buang air kecil. Sekeluarnya dari kamar mandi saya lihat bapak saya belepotan darah. 

“Kenapa, Pak?”

”Mimisan” ujarnya sambil membuang kapas yang penuh darah. Saya Bantu bapak ambilkan daun sirih milik tetangga agar pendarahan di hidungnya berhenti. ”ingat. Jangan bilang-bilang Ibumu soal ini” ujarnya lagi. Setelah itu bapak kembali ke meja kerjanya menyelesaikan tugas kantornya. Bapak kecapean. Begitu batin saya.

Mengenang peristiwa itu saya terhenyak. Saya tak seharusnya terus-terusan begini. Saya harus berubah. Minimal menyenangkan bapak saya. Saya bergegas keluar kamar. Cuci muka lalu berlari ke pinggir jalan. Naik angkot. Tujuannya; Gramedia. Saya ingin beli buku. Bukan yang bukan hanya bisa memotivasi saya. Juga bisa membantah bapak saya, bahwa kuliah bukan satu-satu jalan menuju sukses. 

Ini pertamakali saya memasuki toko buku. Dan satu-satunya rak yang saya kunjungi, rak best seller. Di situ saya menemukan buku yang pertamakali saya beli selama kuliah di Jember dari tahun 1999; Menjadi Manusia Pembelajar karangan Andreas Harefa. 

Buku yang mengkritik ‘habis’ dunia pendidikan formal. Tulisan dalam buku itu sangat provokatif menurut saya waktu itu. yang masih saya ingat betul adalah paragraf ini; 

Lalu, apa gunanya sekolah dan universitas kalau kita akhirnya hanya memproduksi beo-beo seperti para doktor pertanian yang tak pernah mampu membuat “Jambu Indonesia” atau “Durian Indonesai”, tetapi hanya membuat segala hasil-hasil pertanian menjadi serba Bangkok? Mengapa orang-orang berteriak seperti kebakaran jenggot ketika sejumlah oknum tak bermoral menjajakan gelar seperti pedagang kaki lima menjual obat sakit ginjal seharaga Rp. 100,00 di pinggir jalan? Tidakkah sekolah dan universitas juga hanya mampu melahirkan sarjana-sarjana, bahkan juga belakangan doktor yang bisanya hanya menjiplak karya orang lain? Bukankah kita semua tahu bahwa skripsi dan tesis sebagian (besar?) sarjana kita tidak dibuat tidak lewat proses pembelajaran, tetapi transaksi “jual- beli” yang dilayani para pembajak karya cipta diberbagai sudut kota, yang sebagaian belum pernah masuk perguruan tinggi? Bukankah kita semua tahu bahwa sebagian besar sarjana kita tidak pernah menghasilkan karya tulis serius setelah diwisuda (bahkan juga para doktor dan profesor hanya sesekali menulis dimedia cetak untuk disebut pakar?. Jadi, apakah ruginya negri ini bila semua sekolah dan universitas dibubarkan saja seperti Gusdur membubarkan Departemen Penerangan (yang menggelapkan dana) dan Departeman Sosial ( yang sok-sial)?. (hal. 10-11).

Membaca buku Andreas Harefa kala itu membuat saya ‘menemukan’ diri saya yang ‘sejati’; pemberontak. Saya berpikir setelah menyelesaikan buku ini saya akan punya jawaban paling keren untuk membantah bapak saya yang menuntut saya kuliah dan mendapatkan IPK tinggi. Ya. Saya telah membaca buku itu lebih dari tiga kali setelah membelinya. Dan saya merasa lebih percaya diri. Lebih kritis. Keberanian saya setelah membaca buku itu adalah mulai berani membantah setiap pernyataan dosen saya, yang menurut ukuran saya tidak benar. Tapi saya tak cukup berani mengambil pilihan untuk drop out dari kampus saya yang saya cemooh habis-habisan itu. Sama tak beraninya saya membantah bapak saya dengan teori-teori pendidikan yang dikutip Andreas Harefa dalam bukunya yang telah cetak ulang kurang lebih 34 kali pasca penerbitan pertamanya di awal tahun 2000 itu. 

Tapi sejak membeli dan membaca buku itu, saya menjadi orang yang keranjingan membaca dan menulis sampai sekarang. Dan saya tidak pernah menyesal lulus kuliah di semester 12 dengan IPK 2,9 pada tahun 2005. 

Tidak ada komentar: