WAKTU

JEDA

Jumat, 15 November 2013

#5Bukudalamhidupku: TEROR SEBUAH BUKU


TEROR SEBUAH BUKU

Proyek #5Bukudalamhidupku telah memasuki hari ke empat. Ini berarti Irwan Bajang, sebagai supir, sekaligus pimpinan proyek dan para penumpangnya sudah menulis tentang tiga buku. Sementara saya baru menulis satu buku. Itupun terlambat pula.
”Boleh aja ikut. Tapi tak dapat ikut seleksi untuk dapat hadiah karena telat” ujarnya, ketika saya melaporkan buku pertama yang saya tulis. Apa boleh buat. Dari awal saya sudah terlambat. Jadi saya lupakan ‘jadwal’ proyek itu. Disiplin memang susah. Tapi saya punya tanggung jawab lain selain ikut ‘piknik’ #5bukudalamhidupku itu.
Tapi kesempatan kembali datang. Jum’at. Istri dan anak-anak berangkat lebih pagi dari biasanya. Jam 05.00 mereka sudah berangkat. Istri saya mengantar anak-anak ke rumah neneknya. Sementara istri saya berangkat ikut senam pagi. Rutinitas tiap minggu seorang guru. Otomatis saya sendirian di rumah. Dan saya mulai kembali ikut piknik lagi. Gak apa-apa meski berangkat sendirian naik kuda besi. Bajang dan penumpangnya boleh naik bis patas sambil bernyayi.
Ada dua hal yang tak bisa saya lupakan ketika jadi anak-anak di era tahun 90-an. Pertama, gembot. Dan kedua, persewaan buku. Gembot adalah game portable sejenis PSP kalau sekarang. Satu gembot satu permainan. Cuma anak orang kaya yang bisa punya game itu. Sementara anak kampung, bisanya nyewa di kakang gembot. Harga sewanya Rp. 100,- sampai gemover. Kalau jago bisa berjam-jam mainnya. Uniknya, gembot yang disewakan itu diikat sama tali. Fungsi tali itu, selain agar gembot tak hilang, juga buat menarik gambot dari anak-anak ketika gemover. Yang terkenal kala itu merek Casio. Permainannya macam-macam. Yang paling sering saya mainkan westen bar (coboy cengeng) dan subbattle marine (perang laut).
Saya tak perlu panjang lebar cerita soal gembot. Karena itu bukan fokus utama tulisan ini. Berikutnya, persewaan buku. Di tahun itu persewaan buku juga menjamur. Sama menjamurnya dengan persewaan kaset video. Di kampung saya setidaknya ada dua persewaan buku. Tapi persewaan buku langganan saya bernama persewaaan buku “mutiara.” Letaknya tepat di mulut gang jalan mutiara sampang. Ibu saya kenal dengan pemiliknya. Cukup bawa kartu anggota, pilih buku, nanti tinggal bilang sama penjaganya: “Tante biar Ibu nanti yang bayar.”
Kebanyakan isinya buku komik. Saya lupa sudah berapa buku komik yang sudah saya baca kala itu. Mulai dari Donal bebek, Gundala Putra Petir, Si Buta dari Goa Hantu, dan sebagainya. Tapi ada satu komik yang tak bisa saya lupakan ketika pertama kali mulai menyewa dan membaca komik. Judulnya; "Siksa Neraka." Sebenarnya banyak versi dan banyak penerbit yang mereproduksi cerita siksa neraka. Saya tidak ingat penulis dan penerbit buku tersebut.
Komik itu benar-benar membuat saya yang masih anak-anak kala itu tak nyenyak tidur. Saya sSeringkali bermimpi buruk setelah membacanya. Betapa tidak, dalam komik itu diceritakan tentang betapa kejamnya siksa neraka disertai gambar-gampar yang mengerikan. Anak kecil mana yang tak bergidik melihat gambar lidah ditarik kemudian digunting disertai sebuah kalimat pendek; hukuman bagi para pembohong. Anak kecil mana yang tak ngeri melihat gambar mulut dirajam besi panas sampai ke dubur sebagai hukuman bagi mereka yang memakan hak orang miskin dan anak yatim. Ada juga seorang perempuan yang direndam di sungai darah dan nanah sementara vaginanya ditusuk besi panas karena menjadi pelacur. Kengerian makin bertambah, karena penulisnya menulis kalimat begini (kira-kira): “Kekejian di dalam neraka itu tidak terjadi sekali. Melainkan terjadi berkali-kali. Setelah nyawa lepas dari badan, Allah SWT mengembalikannya lagi, lagi dan lagi. Dan siksaan serupa akan dialaminya lagi”
Saya tak ingat berapa tebal buku komik itu. Tidak terlalu tebal menurut saya jika dibandingkan dengan comik kungfu boy yang berseri-seri itu. Boleh dibilang tipislah. Covernya juga tidak bagus. Tapi gambar di cover itu benar menyeramkan. Pada tahun 2006, saya pernah mencoba mencari komik itu di lapak buku bekas di kampung saya. Hanya sekedar ingin tahu seperti apa rupa komik itu di tahun 2000an ini. Tapi sayang, saya gagal menemukannya.
Komik itu bermula dengan cerita perjalanan Nabi Muhammad  saat Isra’ Mi’raj. Selain mendapatkan perintah sholat lima waktu, Nabi terakhir umat Islam itu mendapat kesempatan  melihat surga dan neraka yang akan dihuni seluruh umat manusia nanti setelah kiamat. Cerita terus mengalir. Landai di halaman-halaman pertama. Bahkan cerita Surga hanya diberi porsi 2-3 lembar saja. Kengerian baru dimulai kala putra tunggal Siti Aminah yang bergelar al-amien itu memasuki neraka. Dan sejak itu pembaca yang kebanyakan anak-anak disuguhi gambar-gambar siksaan-siksaan yang mengerikan dan abadi bagi manusia yang di dunia suka berbuat maksiat dan enggan bertobat. gambar-gambar mengerikan terus bermunculan sampai halaman terakhir.
Tak ada teman saya kala itu yang tak membicarakan komik itu. Apalagi tidak menyebutnya. Jika seorang teman ketahuan berbohong, maka teman yang lain yang pernah baca komik Siksa Neraka itu akan berkata: ”Awas dipotong lidahnya lho besok kayak di buku siksa neraka.” Tentu saja dengan logat madura yang kental.
 Karenanya tidak berlebihan jika majalah Islam Madina (edisi Agustus 2009)  kala membuat laporan tentang 100 buku Islam yang paling berpengaruh, komik Siksa Neraka masuk juga di dalamnya. ”Sebuah komik yang memberikan mimpi buruk banyak anak Indonesia sejak tahun 1970-an. Dan Tatang S, komikusnya, berhasil menggambarkan siksa neraka secara gamblang” begitu tulis redaktur majalah tersebut.
Sebenarnya buku komik Siksa Neraka bukanlah buku komik pertama yang berkisah dan menggambarkan kengerian di hari pembalasan. Menurut Marcel Bonneff, penulis buku “Komik Indonesia,” justru komik berjudul “Taman Firdaus” karya KT Ahmar yang tercatat sebagai komik surga-negara pertama yang terbit tahun 1961.
Saya sendiri belum pernah membaca Taman Firdaus. Namun yang pasti buku Komik “Siksa Neraka” benar-benar membuat sisi keberanian saya sebagai anak-anak tergerus. Bayangan tentang siksa neraka dan keindahan surga seperti menjadi bius yang melenakan saya yang sedari awal dididik dalam keluarga agamis. Tak ada keberanian dalam benak saya yang masih anak-anak kala itu untuk bertanya; sebegitu pendendamkah Tuhan hingga menciptakan sebuah kamp penyiksaan yang maha hebat dan abadi itu? Sebegitu kejamkah sang Khalik yang maha pengasih dan penyayang itu? Yang ada adalah ketakutan-ketakutan. Ketakutan untuk mempertanyakan segala yang serba gaib dan tak ‘tersentuh akal.’ Dan buku komik itu benar-benar menteror saya. Sama menterornya kala saya pertama kali menonton film “kekejaman G 30 S/PKI” garapan Arifin C. Noer.
Tapi apa boleh buat. Kala itu saya hidup di zaman orde baru yang angkuh tapi rapuh. Rejim itu paling suka menebar teror dan ketakutan-ketakutan pada masyarakatnya hanya untuk satu tujuan; tunduk dan patuh. Dan komik Siksa Neraka senafas dengan teror orde baru. Ia efektif mematikan keberanian anak-anak dengan ancaman-ancaman neraka.
Barangkali jika anak saya membaca buku itu, ketakutan-ketakutan seperti yang pernah dialami saya di masa kanak-kanak dulu saat pertamakali membaca buku itu akan ia rasakan juga. Sementara jika saya kembali membaca komik itu mungkin kali saya tidak akan ketakutan, malah tertawa sambil berkata; “ih, serem banget ya!”


Tidak ada komentar: