WAKTU

JEDA

Jumat, 15 November 2013

#5Bukudalamhidupku: Airmata di Sebuah Buku

Air Mata di Sebuah Buku

“Ya, ya, pukul aku lagi, Ibu. Pukul aku. Asalkan aku dapat makanan. Aku perlu makan untuk bertahan hidup,” Aku berbisik dalam hati. Kemudian Satu pukulan lagi menyentakkan kepalaku hingga membentur pinggiran dinding. Aku meneteskan air mata sebagai tanda tak tahan menerima cemoohan Ibu. Ibu lalu keluar dari dapur, tampaknya ia puas akan perlakuannya terhadapku. Aku menghitung langkah langkahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah jauh dari dapur, dan aku pun menarik napas lega. Sandiwaraku berhasil. Ibu boleh memukuliku sesuka hatinya, tapi aku tak membiarkannya mengalahkan tekadku untuk bertahan hidup.

Saya membaca kalimat itu di halaman sepuluh Novel semiotobiografi karya Dave Pelzer berjudul A Child Called It. Tapi dada saya terasak sesak. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Malam itu bulan Februari 2006. Saya lupa tanggalnya. Udara Surabaya begitu dingin. Sementara tubuh saya sudah demikian lelah usai rapat redaksi di kantor. Alih-alih mencoba untuk tidur dengan membaca buku terbitan Gramedia cetakan ke tujuh tahun 2006 itu, yang saya beli kala ngaso di Delta Plaza usai liputan seharian, saya justru menangis. 

Dave Pelzer benar-benar membuat saya tak bisa tidur. Saya terus membaca buku setebal 184 halaman yang diterbitkan pertamakali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2001 itu hingga selesai. Dan disetiap lembar demi lembar berlalu, airmata saya terus mengalir. Di tahun-tahun sebelum saya membeli buku pertama dari Trilogi Dave Pelzer itu, saya pernah membaca novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka, tapi saya tak menangis. Pernah juga membaca Salah Asuhan, juga tak menitikkan airmata. 

Tapi membaca A Child Called It itu saya nyaris kehabisan energi hanya agar tidak tersedu. Cerita kekerasan yang dialami Dave yang dilakukan oleh Ibunya benar-benar tak terperikan. David berhasil menciptakan alur sehingga mampu menyeret imajinasi pembaca untuk turut serta mengalami rasa takutnya, rasa kekalahannya, rasa kesendiriannya, rasa sakitnya, dan rasa marahnya, sampai pada harapan terakhirnya. Di setiap lembar demi lembar novel itu saya seakan diseret ke dunia gelap anak-anak korban kekerasan dalam keluarga. Setiap suara isak tangis,  suara lenguh menahan rasa sakit seakan bergema di dalam kamar kos saya. Berkali-kali kalimat kutukan saya gumamkan dalam hati untuk Ibu Dave sembari mengusap airmata sendiri.

Mungkin saya terlalu berlebihan. Mungkin saya terlalu sentimentil. Tapi tahun itu saya memang belum pernah membaca novel Gadis Pantai, Bukan Pasar Malam, nyanyi sunyi seorang bisu 1 dan 2 karya Pramoedya Ananta Toer. Benar memang saya telah menuntaskan tetralogi pulau buru Prameodya Ananta Toer di masa-masa kuliah, sekitar tahun 2003-2004. Tapi saya membacanya hanya sekedar saja. Baru pada tahun 2007 saya memiliki hampir semua karya Pramoedya Ananta Toer. Dan membaca Gadis Pantai dan Bukan Pasar Malam tak kalah menyedihkan dan bikin sesak nafas seperti membaca A Child Called It.
Meskipun saat ini ketika kembali membaca A Child Call It saya merasa buku itu tak lebih dari sekedar buku motivasi diri belaka, yang terbit untuk turut serta mendapatkan laba penjualan buku ditengah booming buku-buku motivasi seperti ESQ, Rich Dad Poor Dad karya Robert T Kiyosaki, namun A Child Called It itulah buku novel pertama yang saya baca dan berhasil membuat saya meneteskan airmata. Meskipun sebenarnya pesan yang ingin disampaikan buku itu; "Gue aja yang menderita bisa bertahan dan sukses masak lo lo kagak."

A Child Call It adalah buku pertama dari tiga buku serangkai yang mengisahkan kehidupan Dave Pelzer. Buku keduany berjudul A Lost Boy dan yang terakhir A Man Named Dave. Buku kedua dari trilogi kehidupan penulis yang pernah bekerja di angkatan udara AS itu saya tak punya dan tak pernah ingin memburunya lagi. Sedangkan buku ketiganya saya punya. 

Berkisah tentang seorang anak yang terus menerus mendapatkan kekerasan dari Ibu kandungnya sendiri. Mulai dari dipukul, ditendang, ditusuk pisau karena terlambat mencuci piring, hingga disuruh memakan kotoran adiknya sendiri yang masih bayi. Yang paling sadis adalah hukuman kamar gelap. Dave dimasukkan ke dalam kamar mandi yang dipenuhi asap amoniak. Ia nyaris kehilangan nyawa dan sempat batuk darah jika tidak telungkup di lantai kamar mandi. Ya. Membaca buku A Child Called It seakan-akan membuat surga dibawah telapak kaki Ibu tiba-tiba runtuh. Yang ada adalah watak bengis sang Ibu yang terus bergemuruh.

Seminggu usai membaca buku itu saya berniat menulis novel serupa yang bercerita tentang hubungan saya dengan Ibu saya. Ibu saya memang terbilang keras dalam mendidik. Menampar dan memukul masih kerap dilakukannya meski saya telah SMA kelas 3. Karena saya memang nakal dan badung. Baru setelah kuliah saya tak pernah lagi dipukulnya. Tapi benarkah Ibu saya sebengis Ibu Dave? Pantaskah saya menuliskan itu? Bahkan meski keras dalam mendidik saya dan adik-adik saya, Ibu belum pernah mencoba mencelakai saya. Apalagi memberikan hukuman yang jauh diluar nalar manusia normal. 

Niat tinggal niat. Saya tak pernah menuliskan novel sejenis A Child Called It. Justru saya malah melupakan novel itu di tengah buku-buku bacaan saya yang kian hari kian bertambah. Baru karena proyek #5bukudalamhidupku itulah saya kembali mengingat novel itu. Dan alih-alih menuliskan novel sejenis, yang saya tulis akhirnya hanya sebuah puisi berjudul “Aku Ingat Senyuman Itu.” Itupun saya tulis di tahun 2011. Lima tahun setelah membaca novel bersampul putih dengan gambar anak kecil yang bersedih itu.

Aku Ingat Senyuman itu

langit penuh tinta cumi cumi
angin mati
aku meringkuk di sudut kamar
menghapus airmata yang menjelma kunang kunang
menahan perih punggung dan kaki
yang didera sapu lidi
o, betapa mahal ciuman
betapa mahal senyuman
dihadapan pukulan
sebab aku ketahuan merayap
di genteng rumah tetangga
Tuhan sedang apa di atas sana
ketika aku menangis
wajahnya bengis atau tersenyum manis
Mama sedang memikirkan apa di kamar
usai bikin tubuhku memar
memar jugakah hatinya dihantam kenangan dari dalam?

siaran dunia dalam berita. kekeh mak lampir
di serial radio misteri gunung merapi
tiktok jam.
bising! bising!
ingin aku mengamuk seperti Mama mengamuk
tapi memar di tubuh ini
menjadikan keberanian kanak kanak
menjelma ketakutan yang terus berbiak
aku sesegukan di sudut kamar. tak ada lagi airmata
hanya sesegukan. lalu tertidur.
dan bermimpi dicium Mama yang jadi bidadari
dan aku tersenyum





Tidak ada komentar: