WAKTU

JEDA

Sabtu, 16 November 2013

#5bukudalamhidupku: Syekh Siti Jenar dan Kenangan Gedung Bioskop Yang Dibakar


Syech Siti Jenar dan Kenangan Gedung Bioskop Yang Dibakar



Tumenggung Wilarikta, seorang adipati di Tuban, memergoki anaknya, Raden Mas Said tengah mencuri beras di lumbung keluarga. Sang Tumenggung marah besar. Raden Mas Said dihukum sekap di gudang makanan setelah sebelumnya tangannya dicambuk. Padahal Raden Mas Said mencuri untuk membantu salah seorang keluarga dilingkungan kadipaten yang tengah kelaparan. Anak itu terima hukuman bapaknya. Ia berdiri di pojok gudang. Airmatanya pelan-pelan berlinang’ 

Saya ikut sedih. Sedih sekali menyaksikan Said terdiam menahan tangisnya. Saya terus merapatkan duduk saya ke dada Ibu untuk sekedar berbagi kesedihan. Itulah adegan pembuka film Wali Songo yang ditayangkan di Bioskop Trunojoyo sebagai rangkaian akhir dari peresmian dan pembukaan gedung bioskop pertama di Kabupaten Sampang. Kala itu November tahun 1993. Saya lupa tanggalnya. Saya menonton film yang disutradarai Soyjan Sharna itu karena diajak bapak. Saya tak tahu apakah bapak membeli karcis atau mendapat undangan resmi sebagai PNS. Yang saya ingat sebagian besar penonton bioskop yang terletak di Jalan Trunojoyo, Sampang, berpakaian batik. Di deretan depan ada yang berpakaian polisi dan tentara. Juga ada yang bersorban. 

Kami sekeluarga duduk di deretan tengah. Saya dipangku Ibu. Adik digendong bapak. Saat itu filmnya berjudul Wali Songo. Belakangan setelah dewasa saya baru tahu Bahwa film tersebut termasuk film yang sukses karena ditonton lebih dari 500 ribu orang sejak ditayangkan pertama kali pada tahun 1984 di layar lebar.

Saya tak ingat lagi cerita selanjutnya. Yang jelas Raden Mas Said kemudian menjadi pencuri yang budiman. Mirip seperti Robin Hood. Dan akhirnya menjadi sunan kalijaga. Selain itu ada satu lagi adegan yang saya ingat betul dari film itu, yakni cerita tentang sosok antogonis Syech Siti Jenar. Dikisahkan ia berasal dari cacing. Namun karena menempel di perahu saat Sunan Bonang mewariskan ilmu pada Sunan Kali Jaga, maka ia menjelma manusia dan menjadi wali. Tapi ia dianggap sesat karena mengajarkan pandangan manunggaling kawula gusti. Pandangan ini merumuskan bersatunya Tuhan dalam  hamba-Nya. Sebab Tuhan telah ada dalam aku, maka akulah Tuhan. Pandangan ini ditentang sembilan wali. Singkat cerita Syech Siti Jenar ‘dikeroyok’ wali songo dan akhirnya ia dipenggal.

Namun film Wali Songo adalah film pertama sekaligus film terakhir di Bioskop itu. Dua hari setelah peresmian Bioskop oleh Bupati Sampang Kolonel Bagus Hinayana, ribuan massa mengamuk di kota bertajuk Sampang Bahari itu. Mereka menuntut Bupati mundur. Sembari meneriakkan tuntutan, massa merusak kios-kios SDSB. Merobohkan lampu kota. Membakar mobil polisi dan membakar gedung bioskop. Media menulis tak ada korban jiwa dalam peristiwa amuk itu. Hanya korban luka-luka. Tapi dari cerita seorang intel polisi yang terlibat langsung dalam peristiwa itu korban justru banyak. Mayat-mayat terpaksa ditumpuk di truk dan dibawa ke Omben untuk menghindari wartawan. Terutama wartawan internasional. “Kami sampai mengerahkan pemadam kebakaran untuk membersihkan genangan darah di sepanjang jalan raya” ujarnya.

Amuk massa itu imbas dari peristiwa dua bulan sebelumnya. 25 September 1993, petugas BPN kembali melakukan pengukuran untuk melanjutkan proses waduk Nipah di Kecamatan Banyuates. Kali ini dikawal 60 tentara bersenjata lengkap. Warga kembali protes. Menolak. Bentrok tak terhindarkan. Melihat warga tak tunduk, tentara kalap. Akibatnya, tiga warga tewas diterjang timah panas tentara. 

Sejak amuk massa itu, Kabupaten yang terkenal dengan jambu air itu tak lagi punya gedung bioskop hingga sekarang. Bekas gedung bioskop Trunojoyo itu kini menjadi gedung BPU; Balai Pertemuan Umum. Dan hanya menjadi tempat acara pernikahan. Tapi film wali songo dan adegan Syech Siti Jenar terus tersimpan dalam ingatan saya. Terutama tentang Wali Songo sebagai hero dan Syech Siti Jenar sebagai penjahat.

Sampai akhirnya saya membeli buku berjudul Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar; Konflik Elite dan Lahirnya Mas karebet karangan DR. Abdul Munir Mulkhan terbitan Kreasi wacana, Januari 2002. Sebenarnya apa yang ditulis doktor sosiologi agama UGM kelahiran Banyuwangi itu merupakan tafsir atas terjemahan bebas dari buku asli serat Syekh Siti Jenar karya tulis Raden Sosrowijoyo tahun 1958 yang diterbitkan oleh keluarga Brotokesowo (hal. 179). Artinya buku ini bisa dikata tafsir atas tafsir. Namun bagi saya yang mahasiswa semester tiga merupakan buku yang mengesankan. 

Apa yang ditulis Mulkan berbeda dengan yang telah menjadi keyakinan saya berdasarkan film Wali Songo yang dulu saya tonton saat masih kanak-kanak. Bahwa persoalan Jenar dengan Wali Songo tidak semata-mata soal ajaran sesat dan tidak sesat belaka. Melainkan juga politik. Misalnya, dalam ajaran Jenar mengenai hidup. Bahwa manusia hidup di dunia ini sejatinya adalah mati. Yang berkeliaran itu semua mayat. Zombie. Jadi tubuh pembungkus raga ini adalah najis, kotor dan penuh racun karena dipenuhi keinginan-keinginan menumpuk-numpuk harga, berkuasa atas yang lemah, berharap-harap pahala. itulah mengapa, lanjut jenar, didalam al-qur’an bahwa seluruh alam dunia ini termasuk isinya (juga manusia) hanyalah mayyidun atau mayat.

            Mayat-mayat itu berkeliaran, mencari makan, mencari rejeki, bersenggama dengan istrinya, memakai perhiasan berkilau. mereka yang naik delman, kereta, dokar, memakai baju kerajaan beserta paying kebesaran hanyalah mayat belaka, meskipun seringkali berwatak keji terhadap sesamanya.(suluh siti jenar pasal 10).

            Ajarannya itu bukan saja nyeleneh, tapi juga mengancam domonasi kejayaan kerajaan demak yang despotik dan keji itu! Artinya ajaran Jenar adalah bentuk perlawanan dominasi Demak dan protes terhadap kemapanan kaum agamawan, khususnya wali singo yang hidup bergelimang harta sebagai penasehat spritual raja Demak. Karenanya Jenar mengajarkan pada muridnya untuk  menolak tunduk pada rejim kerajaan Demak, menolak membayar upeti dan mengajarkan pada pengikutnya untuk tak takut pada sesama manusia. Sebab tak ada manusia yang harus menguasai manusia lainnya. Karena sejatinya manusia dimuka bumi ini adalah mayat. Ajakan atau ajaran menolak tunduk itu tentu saja angin segar bagi rakyat kebanyakan yang terus berada dalam represi feodal. Terutama melihat sepak terjang pasukan Glagawangi yang bengis dan tanpa ampun memburu sisa-sisa Majapahit dan penganut Budha. 

            Karena itulah perlu dilakukan tindakan agar ajaran Jenar tak meluas dan menimbulkan pembrontakan. Tapi Wali Songo tak mau mengotori tangannya dengan darah. Karena itu diatur siasat agar Jenar mengakhiri hidupnya sendiri. Bahkan wali songo kemudian mengganti jasad Jenar dengan seeokor bangkai anjing untuk meredam gejolak para pengikutnya.

            Membaca buku Syekh Siti Jenar Abdul Munir Mulkhan ini ingatan saya kembali pada tragedi Waduk Nipah di Sampang. Bagaimana lihainya rejim orde baru memanipulasi fakta bahwa korban hanya tiga orang tewas padahal ada puluhan orang yang terkapar dengan tubuh berlobang dan bersimbah darah. Juga mengingatkan saya pada tragedi 1965. Bagaimana dengan licik Tentara menggunakan tangan ormas Islam dan organisasi sipil untuk menjagal hampir tiga juta orang komunis dan atau yang dituduh PKI. 

            Lamat-lamat kemudian adegan terakhir film Wali Songo melintas dalam ingatan. Bagaimana Syekh Siti Jenar berjongkok di halaman Masjid kemudian Sunan Kali Jogo menebas lehernya. Seakan kita diberi warning dalam film itu; tunduklah. Patuhlah. Memberontak dan melawan kerajaan (negara) kau akan bernasib seperti Jenar.

            Ya hari ini kita tak lagi hidup di era rejim orde baru. Tapi bau busuk rejim itu terus keluar masih terus tercium hingga sekarang. Mirip bau bangkai anjing yang sengaja ditukar Wali Songo dengan jasad Syekh Siti Jenar untuk menundukkan pengikut-pengikutnya.
           

       #5Bukudalamhidupku    







Tidak ada komentar: