WAKTU

JEDA

Sabtu, 21 Juni 2008

Membangun Kecerdasan Politik Dalam Pilgub Jateng

Dimuat di SUARA KARYA, 20 Juni 2008


Kecerdasan Politik dalam Pilgub Jateng
Oleh Edy Firmansyah



Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah (Jateng), tinggal menghitung hari. Atmosfer politik mulai terasa panas. Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub dan cawagub) yang berkompetisi mulai menebar pesona, membangun jaringan, mengeruk simpati massa. Polarisasi keberpihakan mulai terasa di masyarakat.

Kondisi tersebut lumrah dalam riak politik. Toh akhirnya keputusan berada di tangan rakyat. Siapa yang menang dan siapa yang kalah ditentukan dalam satu dua menit di bilik suara.

Yang tidak lumrah, justru ketika demokrasi (baca: pilgub) hanya menjadikan masyarakat Jateng tidak lebih dari sekadar bemper politik atau sebagai tumbal kekuasaan.

Hal itulah yang selalu ditakuti Sokrates, salah seorang filsuf Yunani, sejak kemunculan demokrasi pertama kali kira-kira lima abad sebelum tarikh Masehi dalam masa Yunani Antik di Kota Athena, berabad-abad lalu.

Menurut Sokrates, demokrasi memungkinkan suatu wilayah diperintah oleh orang-orang yang tidak prorakyat, hanya karena mendapat banyak dukungan.ز al ini dikarenakan para pemilih cenderung memberikan suaranya kepada orang-orang yang disukai, bukan pada orang-orang yang kompeten. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan justru mengesampingkan nasib kaum marjinal. (Kleden, 2004).

Parahnya lagi, ketakutan Sokrates di atas kerap terjadi pada wilayah-wilayah dengan jumlah penduduk miskin yang banyak, tingkat pendidikan rendah, angka buta aksara tinggi, institusi sosial-politik lemah.

Demokrasi gampang dimanipulasi oleh elite-elite politik oportunis dan pemimpin despotik yang menawarkan janji-janji populis agar bisa terpilih sebagai wakil rakyat di parlemen atau pejabat pemerintahan.

Namun, setelah terpilih terbukalah kedok aslinya. Bahwa tujuan para elite politik dan para pemimpin despotik itu merebut kekuasaan, tak lain hanya untuk kepentingan pribadi (memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Dengan menurunnya daya beli masyarakat, melambungnya harga kebutuhan pokok, naiknya ongkos transportasi sebagai imbas dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), jumlah penduduk miskin di Jateng dipastikan akan meningkat tajam.

Kondisi ini tentu saja merupakan potensi besar bagi para pialang politik yang berwatak Machavelian, untuk memanipulasi demokrasi demi suksesnya perebutan kekuasaan, termasuk dengan menciptakan pertentangan, peperangan dan anarkisme.

Bukankah tindak kriminal, teror, penganiayaan, kekerasan dan konflik yang terus menjadi berita sehari-hari di negeri ini pemicu utamanya lebih disebabkan oleh kemiskinan?

Karena itu, penting kiranya membangun kecerdasaan berpolitik masyarakat Jateng dewasa ini. Karena nuansa demokrasi yang mulai menjalar di segenap sendi kehidupan masyarakat menuntut semua lapisan masyarakat mulai dari arus elite sampai dengan kaum alit untuk peka terhadap politik.

Memang tak mudah membebaskan masyarakat untuk sadar politik. Pasalnya hampir 32 tahun masyarakat hanya dijadikan floating mass (massa mengambang) dalam perpolitikan. Pada masa itu, politik hanyalah urusan kaum elite. Satu-satunya keterlibatan masyarakat dalam aktivitas politik adalah ketika pemilu tiap lima tahun sekali.

Sehingga terbangunlah paradigma masyarakat bahwa politik itu hanya pesta-pesta. Gejala semacam ini setidaknya belum terkikis habis hingga saat ini, sehingga kecenderungan politik melahirkan konflik masih sangat besar.

Meski demikian, bukan tidak ada cara menciptakan kecerdasan politik bagi masyarakat. Setidaknya ada tiga cara yang memungkinkan untuk itu. Pertama, komitmen kandidat cagub dan cawagub untuk menerima segala konsekuensi dari pertarungan politik; siap menang dan kalah. Dengan begitu, harapannya terbangunlah kesadaran bahwa menang dan kalah adalah bagian dari kehidupan politik. Harus diterima secara legowo apa pun hasil dari pilgub itu.

Kedua, keterlibatan secara penuh para aktivis mahasiswa, LSM, dan partai politik yang progresif dan memiliki wacana pembebasan rakyat untuk terus mendidik rakyat, untuk cerdas tidak hanya secara didaktis melainkan juga secara politik. Hanya dengan cerdas secara politik peluang terciptanya politik damai tanpa terpengaruh kampanye politisi busuk untuk memanipulasi demokrasi bisa terwujud.

Terakhir adalah media massa. Media massa setidaknya mampu menjadi jembatan guna terciptanya politik damai dalam Pilkada Jateng ini. Karena itu, media massa diharapakan tidak hanya sekadar pintar mengeksploitasi keberaniannya untuk memunculkan isu-isu baru seputar pilkada. Tetapi media massa yang berpengaruh besar terhadap masyarakat harus memulai dengan membuat wacana-wacana pengendalian diri seputar pilkada. Artinya, pers yang bebas adalah pers yang mampu menjadi jalur bagi terciptanya integritas masyarakat.

Dengan keterlibatan penuh ketiga elemen tersebut diharapkan upaya-upaya memanipulasi demokrasi dalam Pilkada Jateng bisa diminimalisasi. Dengan demikian Pilgub Jateng benar-benar merupakan ruang demokrasi rakyat yang sejati. Semoga!***

Tentang Penulis
Edy Firmansyah adalah peneliti pada Institute of Research Social Politic
and Democracy
(Irsod), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: