WAKTU

JEDA

Minggu, 08 Juni 2008

Menuju Sastra Nobel

Dimuat di Harian SUARA KARYA, Sabtu 07 Juni 2008


Menuju Sastra Nobel
Oleh: Edy Firmansyah



Sejak Pramodya Ananta Toer meninggal 30 April 2006 silam, kegalauan banyak sastrawan negeri ini hingga sekarang adalah belum adanya sastrawan Indonesia yang menerima hadiah nobel. Meski setiap tahun ada ratusan sastrawan dari seluruh dunia yang diunggulkan mendapatkan Nobel untuk Sastra—meski akhirnya yang terpilih hanya satu orang—tetapi tak satupun sastrawan Indonesia yang disebut-sebut sebagai calon kandidat.
Memang semasa Pramodya Ananta Toer masih hidup, Indonesia boleh berbangga. Sebab dialah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali dicalonkan untuk mendapatkan hadiah bergengsi dibidang sastra itu. Tapi Pram keburu meninggal. Dan kesempatan seorang putra Indonesia untuk mendapatkan hadih Nobel pun lewat.

Pertanyaan mendasar adalah benarkah ini petunjuk bahwa kualitas manusia Indonesia, terutama yang menjadi sastrawan, atau setidaknya karya-karya mereka masih sangat rendah? Mengapa hanya Pramoedya Ananta Toer yang selalu menjadi wakil Indonesia dalam kandidat peraih Nobel Sastra?

Adalah HB. Jassin, sang Paus Sastra Indonesia, yang mengakui bahwa sastrawan kita harus merasa ‘rendah’ diri dihadapan ‘sastra(wan)’ dunia. Pasalnya, kita masih kekurangan makanan yang bergizi untuk dapat bersaing dalam perebutan hadiah Nobel itu. Apa makanan bergizi itu? Budaya. Hingga saat ini masih sedikit sastrawan Indonesia yang menggarap keunikan budaya sebagai bahan dasar karya-karya mereka. Budaya yang dimaksud adalah keragaman berbagai kebudayaan nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan kebudayaan itu yang melebur menjadi satu sebagai budaya Indonesia. Dalam peleburan itu sejatinya budaya Indonesia mampu melahirkan sastra tinggi, yakni sastra mampu menegosiasikan beragam budaya dalam masyarakat. Sastra yang demikian adalah sastra yang mampu mendongrak hegemoni dan menjadi corong bagi masyarakat yang terpinggirkan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kebudayaan Indonesia yang unik itu dimarjinalkan. Para sastrawan dan budayawan justru lebih memilih budaya eropa sebagai bahan dasar kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia diarahkan untuk publik kelas menengah. Jika ditarik ke belakang akar dari itu semua adalah pengaruh politik kolonial yang berhasil menumpas tumbuhnya kesusastraan nasional yang berbicara tentang kemerdekaan bangsa pada saat itu. Sebagai gantinya, ditumbuhkan kesusastraan berorientasi barat, yang menghembuskan keuniversalan nilai-nilai sastra, sehingga sastra alpa untuk berbicara tentang kemerdekaan dan pembebasan. Pada saat itulah muncul sastra Angkatan Balai Pustaka, yang merupakan cikal bakal kesusastraan Indonesia modern yang sekarang (Arif Budiman, 1985;104)

Padahal berdasarkan pantauan Ajip Rosidi, setiap pengarang dengan latar budaya yang besar pada waktunya secara bergiliran mendapat hadiah Nobel. Demikianlah kita lihat pengarang dengan latar budaya Jepang (Kawabata Yasunari, 1968; Oe Kenzaburo, 1994), dengan latar belakang Arab Islam (Nadjib Mahfudz, 1988), dengan latar belakang budaya Hitam Afrika (Wole Soyinka, 1986), latar belakang budaya Cina (Gao Xingjian), sedangkan dari latar belakang budaya India adalah sastrawan Asia pertama yang memperoleh hadiah Nobel (Rabindranath Tagore, 1913).(Horison XXXXI, 2006;16)

Memang pengarang dari latar belakang budaya Melayu belum ada yang mendapatkan hadiah tersebut. Tapi beberapa sastrawan yang berlatar belakang budaya kerap menjadi kandidat. Pertama, Pram yang menulis dengan bahasa nasionalnya, Indonesia. Kemudian, Frankie Sionik Jose dari Filipina yang menulis dalam bahasa Inggris.

Mengapa Pram? Karena Pram mampu membebaskan diri dan hegemoni kuasa dalam teks-teks sastra. Yakni sastra yang hanya mengagung-agungkan kelas atas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali. Dalam pidato tertulisnya saat menerima penghargaan Magsaysay, di Manila, Pram mengatakan bahwa sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, langsung menggiring pembaca pada sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarakat tak punya perhatian pada kekuasaan negara. Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat. Dan Pram memilih untuk tidak berpihak pada sastra seamcam itu.

Sehingga tak heran jika karya Pramoedya Ananta Toer meski sarat kritik—terutama terhadap budaya Jawa yang dominan—tapi nuansa humanisme menjalar disetiap halaman-halamannya, lengkap dengan berbagai kompeksitas nation pada zamannya. Dengan kata lain, sastra Pram adalah sastra yang menghadirkan kenyataan sejarah. Dan apa yang disebut kenyataan di Indonesia, memang cukup memojokkan kelas menengah. Sebab mereka mapan diatas penderitaan.(Seno Gumira Adjidarma, 2005;24). Makanya jangan heran jika karya Pram di Indonesia justru dilarang dibaca khalayak. Sementara di luar Indonesia karya-karya Pram justru menjadi rujukan utama untuk memahami kesejarahan Indonesia.

Karenanya selama sastra Indonesia masih mengelus-elus pantat kelas menengah dan kaum mapan, sehingga karya yang lahir bagaikan opera sabun dan hiruk pikuk cinta yang tidak masuk akal, jangan harap Sastra(wan) Indonesia mampu meraih Nobel.

**Tentang PENULIS
Edy Firmansyah Adalah Esais. Pengelola SBK (Sanggar Bermain Kata). Alumnus Universitas Jember.


Tidak ada komentar: