WAKTU

JEDA

Selasa, 24 Juni 2008

Mengkaji Ulang Program Karyawisata Bagi Siswa

Dimuat di KOMPAS Edisi Jawa Timur, 24 Juni 2008



Mengkaji Ulang Program Karyawisata bagi Siswa
Oleh: Edy Firmansyah




Program karyawisata kembali memakan korban jiwa. Bus wisata Sidomulyo dengan nopol AG 6678 TU yang mengangkut rombongan murid TK Dharma Wanita, Desa Karangdiyeng, Kabupaten Mojokerto, terbakar di Kota Batu, Jawa Timur, Senin (9/6). Akibat kecelakaan tersebut, dua siswa dan seorang wali siswa terpanggang hidup-hidup. Sedangkan sebelas penumpang lainnya menderita luka bakar (Kompas, 10/06)
Kecelakaan tersebut seakan mengajak kita kembali merenung sejauh mana manfaat program karyawisata sekolah dibandingkan dengan risiko yang harus ditanggung? Pasalnya kecelakaan ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya pada medio tahun 2003 kecelakaan serupa menimpa juga bus pariwisata SMK Yapemda, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, DIY di Situbondo dalam acara karyawisata ke Bali. Dalam kecelakaan tersebut 51 murid dan dua guru SMK Yapemda, serta seorang pemandu wisata tewas.
Memang setelah kecelakaan maut SMK Yapemda itu program karyawisata sempat mendapat kritik tajam banyak kalangan. Bahkan beberapa Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan sempat melarang program tersebut.
Tapi entah mengapa akhir-akhir ini kegiatan tersebut marak hingga akhirnya kembali memakan korban jiwa. Bahkan program ini sudah menjadi rutinitas yang dijalani sekolah-sekolah di Indonesia setiap penutupan tahun ajaran—biasanya setelah ujian atau menjelang kenaikan kelas—sekolah-sekolah banyak mengadakan program karyawisata ke daerah-daerah tujuan wisata. Kota-kota seperti Malang, Yogyakarta, Lamongan, Bali, merupakan kota yang banyak dikunjungi wisata pelajar dari berbagai penjuru daerah.

Komersialisasi Sekolah
Sudah diketahui oleh umum bahwa sekolah saat ini bukan saja sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan semata. Lebih dari itu, sekolah juga telah berubah fungsi menjadi ’pasar.’ Dalam logika pasar berlaku hukum ekonomi paling konvensional, yakni bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Prilaku pasar yang terjadi di sekolah bisa dilihat dari pengadaan pakaian seragam, jual buku pelajaran, hingga program karyawisata.
Sebagaimana diutarakan Darmaningtyas pelaksanaan proram karyawisata itu melibatkan jaringan bisnis yang sangat kompleks, mulai dari jasa trasnportasi, katering, tempat pariwisata dan sebagainya. Di setiap bagian itu selalu terbuka celah lebar untuk melakukan transaksi bisnis, baik bagi sekolah secara institusional dan guru secara individual yang mengurusi program tersebut (2004;224). Misalnya ketika melibatkan jasa transportasi yang dipikir pertama kali adalah bagaimana mendapatkan transportasi yang murah, sehingga laba yang didapat bisa lebih besar. Akibatnya faktor keselamatan nyaris terlupakan. Bukankah dalam hukum ekonomi semakin murah suatu barang atau jasa, maka kualitas dari barang atau jasa tersebut semakin diragukan? Tentu saja dalam hal ini yang dirugikan jelas adalah siswa dan wali siswa sebagai konsumen.
Selain abainya faktor keselamatan, sekolah dengan logika pasar cenderung melahirkan siswa-siswa yang konsumtif, rekreatif dan hedonistik dengan cara yang instan. Dalam kasus karyawisata, hal ini bisa dilihat bahwa ternyata program tersebut yang idealnya hendak memadukan pendidikan dengan rekreasi dalam kenyataannya justru lebih mengedepankan unsur rekreatif daripada didaktis.
Siswa diajarkan bagaimana menjadi wisatawan, tanpa pernah dibekali dengan pembelajaran bagaimana bekerja keras. Artinya guru tidak pernah memberikan penjelasan secara detail dan bagaimana menjadi wisatawan seperti orang-orang di negara-negara maju, bahwa untuk menjadi wisatawan yang hanya beberapa hari itu mereka harus bekerja keras terlebih dahulu selama bertahun-tahun dan hasilnya kemudian ditabung untuk rekreasi. Tanpa penjelasan itu, yang ditangkap siswa dari program karyawisata hanyalah kesenangan belaka.
Makanya jangan heran jiwa lulusan sekolah saat ini kerap menggunakan jalan pintas untuk meraih apa yang diinginkannya. Mau bukti? Anggota DPR/DPRD yang kerap melakukan studi banding ke luar negeri: sama- sama memboroskan biaya dengan hasil amat minim merupakan proyeksi bagaimana hasil dari pendidikan yang mengajarkan budaya instan.

Seni sebagai Alternatif
Padahal untuk sekedar mengembangkan wawasan siswa dan menjalin kedekatan antara sekolah, siswa dan wali murid tidak harus dilakukan dengan karyawisata. Banyak alternatif lain yang lebih bermanfaat dan hemat biaya. Misalnya dengan menggelar pagelaran seni di sekolah dengan melibatkan tidak hanya siswa, tetapi juga wali murid dan guru sebagai pemeran utamanya.
Selain itu manfaat seni juga amat besar. Seni menurut Fridrich Schiller (filsuf dari Jerman) merupakan semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan berkesenian, seseorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan atau sensitifitas kemanusiaanya, sehingga terhindar dari tindakan destruktif, sempit kerdil dan picik. Bahkan jika program seni itu dilakukan dengan intensif dan maksimal, maka merujuk pada pernyataan Fridrich Schiller itu, tak akan lagi ditemukan tawuran antar mahasiswa hanya karena masalah sepele. Juga tidak ada lagi prilaku destruktif lainnya seperti narkoba dam free sex. Sebab kesenian telah memberi ruang bagi penyaluran energi siswa.***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: