WAKTU

JEDA

Kamis, 19 Juni 2008

Revolusi Seks Kaum Muda

Dimuat di Harian SUARA MERDEKA, 19 Juni 2008

Revolusi Seks Kaum Muda
Oleh: Edy Firmansyah



Tidak semua revolusi berjalan melalui demonstrasi-demonstrasi yang cenderung berjalan anarkis dan penuh kekerasan. Ada revolusi paling radikal yang bisa berlangsung dengan cara yang paling damai, nyaman, tapi memiliki daya perusak yang tak kalah dasyatnya. Revolusi itu adalah revolusi sex.

Ia tidak lahir melalui indokrinasi kaku, pamplet, propaganda, agitasi, orasi dan semacamnya. Melainkan lewat tehnologi, VCD, DVD, handycam, camera digital dan telepon seluler. Lihat saja, bagaimana publik seakan dibuat ternganga dengan berbagai fenomena yang lahir di kalangan kaum muda belakangan ini. Indonesia telah sampai pada sebuah era di mana produksi tayangan pornografi menempatkan para pemuda sebagai aktor utamanya. Rekaman adegan panas dan mesum ala pelajar kini dapat "dinikmati" dalam berbagai format seperti VCD, DVD atau telepon seluler.

Mulai dari hubungan sex mahasiswa Itenas, kemudian adegan sex pemuda-pemudi Bandung yang beredar dalam bentuk CD yang dikenal dengan judul “Bandung membara”, hingga adegan telanjang beberapa pelajar yang tersebar lewat Hp belakangan ini. Parahnya lagi adegan semacam itu bahkan bisa dinikmati pemuda lainnya yang tinggal di pelosok daerah.

Melihat fenomena diatas mungkin pertanyaan ‘keras’ yang muncul adalah Begitu rusakkah moral generasi muda negeri ini? Atau sudah hancurkah budaya bangsa ini yang dikenal sopan? Ada apa sebenarnya dengan kaum muda kita?

Sebenarnya semakin mudahnya kaum muda terjerat dalam dunia syahwat tak lepas dari lemahnya peran pendidikan. Dalam skala nasional bernama sekolah itu tak dapat mengklaim mampu memberikan daya tahan ekonomi, daya tahan moral bahkan daya tahan nalar sekalipun pada bangsa ini (winarno Surachmad, Kompas 03/02/2000). Sekolah, tepatnya pengajar masih sering menggunakan sistem pengajaran gaya bank; Yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa. Sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu menjadi kritis dan berpendapat secara bebas menggunakan kemampuannya.

Akibatnya begitu anak lulus maka ia tak bisa langsung bekerja sebab mereka sudah menjadi sangat tergantung. Karena mereka sejak dini terbiasa disuapi ilmu pengetahuan daripada diasah potensi hidupnya untuk menjadi mandiri di dunia nyata. Artinya, banyak energi dari anak muda yang terpendam tanpa dapat tersalurkan secara ’normal.’

Dalam teori dasar psikologi dijelaskan bahwa energi seseorang yang tidak tersalurkan melalui kegiatan (baik fisik maupun intelektual) akan cenderung menjadi destruktif. Sekelompok orang yang tidak dapat menyalurkan energi dalam dirinya melalui kerja-kerja produktif akan cenderung menciptakan kekacauan dalam lingkungannya karena kemampuan yang ada padanya tidak mendapatkan penyaluran secara kreatif dan berguna.(Kleden, 2004).

Beberapa kasus semisal tindak pemerkosaan, pelecehan perempuan di jalan, pemerkosaan bocah perempuan oleh pemuda atau kakak lelaki hingga mengandung merupakan bukti tindakan destruktif kaum muda karena energi yang terpendam itu tersublimasi secara negatif.

Sementara itu kalangan industri justru semakin memperkeruh suasana dengan menformat seks dalam bentuk hedonisme yang muncul dengan berbagai versi. Dalam majalah dan Koran muncul kisah-kisah tante girang, oom senang, gigolo, pereks, ayam kampus dan semacamnya. Sedangkan dalam film, misalnya munculnya film “Virgin”, “ML”, yang merupakan keberanian orang-orang film dalam mengesploitasi sex habis-habisan. Internet juga tak mau ketinggalan memberikan peluang bagi kaum muda mengakses dan menggunduh situs-situs porno.

Benar memang pemerintah kemudian banyak menggelar seminar-seminar mengenai seks bagi remaja untuk meminimalisir prilaku seks bebas di kalangan remaja. Hanya saja hasilnya tidak maksimal, karena tidak menyentuh ke dasar masalah. Artinya seminar tersebut tidak kemudian ditindaklanjuti lebih jauh dengan berbagai pendampingan dan pelatihan-pelatihan bagaimana mengelola energi kaum muda yang penuh dengan curiocity tersebut.

Parahnya lagi negara dan aparatusnya seringkali memberikan gambaran yang kontradiktif tentang seks. Misalnya di tengah maraknya seminar mengenai seks bebas, kaum remaja justru dikejutkan dengan adegan ranjang anggota dewan yang tersiar lewat media massa. Misalnya terkuaknya skandal seks Maria eva dan Yahya Zaini, serta adegan mesum Max Moein. Kita dapat berspekulasi bahwa fenomena semacam itu dapat memicu dorongan seksual yang tidak terkendali. Penelitian-penelitian menunjukkan perilaku sex di luar nikah terjadi karena dorongan dari luar seperti tayangan TV dan keseringan nonton BF.

Karena itu pendidikan seks penting diberikan secara intensif di sekolah-sekolah. Bahkan kalau perlu pendidikan seks dijadikan kurikulum tersendiri. Tentu saja pendidikan itu harus diimbangi dengan pendampingan dan pelatihan bagaimana memanfaatkan energy dalam diri remaja sehingga mampu menjadi sesuatu yang bermanfaat. Karena itu pemerintah harus juga melibatkan psikolog, budayawan, sastrawan, bahkan wirausahawan muda yang sukses dalam memberikan pendampingan sebagai agenda utama memotong mata rantai prilaku seks bebas remaja.

Dengan pelatihan dan pendampingan yang intensif potensi dalam diri kaum muda bisa dilejitkan untuk menghasilkan suatu yang kreatif. Sehingga mampu menjadi kotrarevolusi seks kaum muda. Tanpa pendampingan sulit untuk menggali potensi diri. Karena potensi harus digali. Meminjam pernyataan Andrea Hirata dalam ”Laskar Pelangi” bahwa; Bakat main bola seperti Ronaldo mungkin diam-diam dimiliki seorang hidung belang yang tinggal di Rusun Penjaringan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang menjadi ayam kampus. Atau salah seorang germo di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zubin Mehta. Semoga! ***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

1 komentar:

herizal alwi mengatakan...

Menjamurnya lokalisasi, warung remang-remang, hotel “short time” atau losmen “esek-esek”, salon plus plus, panti pijat plus, sauna plus, karaoke plus plus, atau diskotek dengan layanan khusus/VIP, setidaknya bisa dijadikan cermin perilaku (seks) masyarakat kita. Layaknya hukum dagang yang mengacu pada permintaan dan penawaran, demikian juga yang terjadi dalam layanan plus-plus. Tingginya jumlah pria hidung belang, maka menjamur pula wanita jalang pemburu uang.

“Industri” seks pun merambah berbagai profesi: kapster, SPG, conter girl, sales marketing, hostes, caddy, bartender, waitress restoran, scoregirl, sekretaris, fotomodel, peragawati, artis, mahasiswi hingga siswi, siap menjadi gadis-gadis order, yang siap “dibawa” para “kumbang”.

Terjunnya mereka di dunia seks komersial umumnya dilatarbelakangi ekonomi, meski ada juga yang awalnya yang “terlanjur” karena pernah jadi korban “lelaki”. Bahkan, faktanya dalam hal melacurkan diri ini, kini bukan hanya persoalan perut, bukan soal “menafkahi” keluarga, namun sudah perkara memenuhi gaya hidup. Hedonisme menjadikan mereka memburu kesenangan belaka. Asal bisa gonta ganti hp dan kendaraan, membeli busana bermerek dan aksesori mahal, mereka rela mengorbankan kehormatan diri atau menjadi simpanan bos-bos dan om-om.

Tuturan di atas baru sebatas “jual beli”. Yang melakukan seks atas dasar suka sama suka, sex just for fun, atau sekadar mencari kepuasan pribadi, tentunya lebih banyak. Remaja/wanita hamil di luar nikah ada di kanan kiri kita, perselingkuhan sudah sering kita dengar, video mesum juga sudah bukan berita heboh lagi. Masyarakat seakan sudah abai atau malah justru permisif. Jika dahulu orang tua seperti dicoreng aibnya ketika anak perempuannya hamil di luar nikah, sekarang banyak orang tua yang justru bersikap biasa saja, bahkan cuek.

Pacaran zaman sekarang juga jauh lebih “canggih”, karena remaja sekarang lebih paham tentang hal-hal yang terkait reproduksi, bahkan paham bagaimana menghindari cara dan waktu berhubungan seks yang berpotensi kehamilan.

Tak berhenti hingga di sini. Seks bebas juga berkembang menjadi perilaku seks menyimpang: pesta seks, arisan seks, private party, incest (hubungan seks sedarah), hingga homoseksual. Lebih ironis, komunitas “maho” (manusia homo) berkedok demokrasi seks malah melembaga di negeri ini, mewujud dalam organisasi GAYa NUSANTARA.

Padahal, yang namanya kasus-kasus menyimpang soal seks seperti fenomena gunung es; di permukaan saja sudah memiriskan hati, apalagi yang tidak tampak. Perkembangan teknologi (TV, internet, HP, dsb) yang mengekspos budaya mempertontonkan aurat menjadi sarana “ampuh” dalam menimbun hasrat seksual para remaja. Alih-alih disalurkan pada tempatnya (baca: menikah), yang terjadi, kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan sodomi, malah merebak di mana-mana.

Sistem pendidikan yang menempatkan agama sebagai suplemen, menjadikan anak bangsa ini miskin ilmu dan iman. Hal ini juga didukung dengan lemahnya pengawasan orang tua dan minimnya amar ma’ruf nahi mungkar.

Ironi memang sedemikian bebasnya seks bebas di negeri yang mayoritas muslim ini. Bagi orang tua yang membiarkan putrinya bebas bergaul dengan laki-laki, bagi “ustadz-ustadz cinta” yang menghalalkan pacaran, bagi “dai-dai gaul” yang diam seribu bahasa dengan maraknya perzinaan di negeri ini, sadarlah, seks bebas mengepung kita!

Komentar:

Hendaklah kita bertaqwa kepada Allah, kemudian membentengi diri dan keluarga kita dari perbuatan keji dan mungkar. Ya Allah jauhkanlah kami dan keluarga kami dari perbuatan keji dan mungkar, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.