WAKTU

JEDA

Rabu, 25 Juni 2008

PSB Tak Cukup Hanya Mengandalkan Gaji ke-13

Dimuat di METROPOLIS, JAWA POS, 24 Juni 2008


PSB Tak Cukup Hanya Mengandalkan Gaji ke-13
Oleh: Edy Firmansyah


Tak lama lagi musim Penerimaan Siswa baru (PSB) segera tiba. Terutama di kota-kota besar seperti Surabaya , kita akan saksikan ramainya lembaga pendidikan diserbu orang tua siswa. Tentu saja kita patut bergembira karena kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya meningkat.

Tapi kita juga bersedih dan sangat bersedih, karena biaya sekolah pasti semakin mahal. Untuk bersekolah di sekolah favorit seperti di SMA Negeri di Surabaya misalnya, wali murid harus merogoh kocek Rp. 600.000 - Rp. 800.000,- per bulan untuk iuran sekolah. Iuran itu belum termasuk uang seragam, biaya ujian dan lain sebagainya.

Akibatnya bisa ditebak, sekolah-sekolah dengan kualitas bagus (sekolah favorit), akhirnya hanya menjadi tempat bagi kaum yang tidak miskin. Parahnya lagi, orang tua yang kaya juga bisa membeli ”bangku” di sekolah favorit meskipun sang anak tidak lolos tes PSB. Permainan semacam itu terjadi di banyak tempat di seluruh Indonesia , terutama di kota-kota besar. Sebab bagi orang tua murid (juga guru), bersekolah di sekolah favorit merupakan prestise tersendiri.

Sehingga pilihan rakyat miskin untuk dapat terus mengenyam pendidikan jatuh pada sekolah-sekolah gurem yang fasilitasnya sangat memprihatinkan. Tenaga pengajarnya kurang, kursi dan bangku banyak yang rusak. Sedangkan gedung sekolahnya terkesan ringkih. Tetapi apa boleh buat, hanya sekolah itulah yang bisa dijangkau oleh mereka. Ketimbang tidak sekolah. Kasus sekolah nunut di Surabaya merupakan bukti betapa pendidikan yang layak itu hanyalah milik kelas berpunya.

Kondisi tersebut jelas sebuah ironi. Sebab kalau kita merujuk pada UUD 1945, pendidikan semestinya menjadi milik tiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Negara harus menyediakan sarana-sarana pendidikan, termasuk memberikan subsidi memadai agar masyarakat memperoleh kesempatan belajar yang sama kualitasnya. Tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memperhatikan pendidikan. Semua warga negara berhak mengenyam pendidikan yang layak sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tapi UUD dasar dalam realitas hanyalah kertas usang yang tak memiliki kesaktian. Buktinya, sekolah-sekolah dengan mutu baik dan fasilitas lengkap dari TK hingga PT hanya bisa dimasuki oleh anak-anak orang kaya, selebritis, pejabat atau kelas sosial tertentu. Sedangkan anak buruh dan rakyat biasa harus “mengalah” untuk masuk kedalamnya. Dengan satu alasan, mereka tak sanggup membayar biaya sekolah bermutu yang kian hari kian melambung tinggi itu.

Sebenarnya pemerintah telah memberikan keringanan terkait dengan biaya pendidikan, misalnya dengan kucuran Biaya Operasional Sekolah (BOS). Di samping itu para PNS juga disuntik dana ‘segar’ dengan gaji ke-13 (yang rutin dikeluarkan Pemerintah tiap tahun menjelang tahun ajaran baru dimulai). Hasilnya? Memang cukup membantu, terutama wali murid yang kebetulan bekerja sebagai PNS. Namun yang menjadi permasalahan, praktek di lapangan ketika PSB di mulai sering tidak menggembirakan. Benar memang biaya SPP tidak terlalu mahal, tetapi pungutan-pungutan terhadap murid yang sejatinya tidak esensial bagi proses pembelajaran, justru dipertahankan meski lebih mahal dari SPP.

Memang semua orang tahu tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan untuk memperoleh ilmu melalui institusi pendidikan bernama sekolah sekalipun. Namun permasalahannya, biaya pendidikan yang mahal, terutama bagi kelas menengah ke bawah, tentu tidak bisa dibenarkan karena secara tak langsung membatasi akses bagi setiap warga negara untuk mendapat pendidikan yang layak dan murah.

Karenanya, dinas Pendidikan harus memberikan peluang yang sama agar sekolah favorit tidak hanya didominasi anak dari orang-orang berpunya. Hal yang paling memungkinkan adalah tes PSB harus fair. Tes ujian PSB harus benar-benar menjadi penentu bagi siswa. Intinya, transparansi dan keterbukaan harus diutamakan. Semua civitas sekolah harus welcome pada siapapun yang dinyatakan lulus dalam tes tersebut. Baik itu yang miskin maupun yang kaya. Mereka punya hak yang sama menikmati segala fasilitas pendidikan yang dibangun pemerintah.

Mengandalkan gaji 13 sebagai satu-satunya subsidi pemerintah untuk meringankan beban pendidikan tak cukup berarti. Karena tiap pencairan dana tersebut kerap diiringi naiknya harga kebutuhan pokok dan melonjaknya biaya pendidikan.

Untuk itu, mensubsidi anak-anak miskin tetapi pintar adalah keharusan pemerintah. Karena anak-anak dengan kemampuan tersebut sejatinya adalah para pekerja keras. Kisah hidup anggota Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata adalah sedikit contoh betapa gigihnya semangat belajar masyarakat miskin. Bahkan tokoh Lintang, mampu memiliki pemikiran brilian karena semangat belajarnya tak putus-putus. Dikatakan demikian, karena ditengah-tengah keterhimpitan ekonomi dan minimnya fasilitas, anak-anak tersebut mampu bersaing dengan anak-anak yang memiliki fasilitas lengkap dan dukungan finansial dari orang tua yang mapan secara ekonomis. Bagaimana menurut anda?

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember

Tidak ada komentar: