WAKTU

JEDA

Jumat, 28 November 2008

Masyarakat Instan dan Intelektual Karbitan

Dimuat di Harian Umum PELITA, 25 dan 27 November 2008


Masyarakat Instan dan Intelektual Karbitan
Oleh: Edy Firmansyah


Menurut Daniel Bell, salah seorang sosiolog posmodern, masyarakat Instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya. Tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang yang pembelajaran tanpa henti. Masyarakat instan, lanjut Bell, masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya satu-satunya keinginan dan asanya bisa dicapai dengan uang.

Pandangan Daniel Bell diatas nampaknya cukup relevan bagi masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia yang dikenal pekerja keras dan gigih meraih cita-cita kini berubah menjadi masyarakat yang serba instan. Maraknya kasus ingin kaya instant dengan korupsi, jual beli ijasah instan, bisnis gelar instan (entah oleh institusi atau oknum beberapa Perguruan Tinggi ) merupakan buktinya.

Kapitalisme dengan mesin giling produksinya telah menyeret kita dalam sekrup-sekrup produksi sehingga kita lahir menjadi manusia yang seragam, yang tunduk pada kaidah pasar. Mulai dari ekonomi, politik, sosial, budaya hingga pendidikan. Dalam dunia pendidikan, misalnya mata pelajaran dicacah menjadi kepingan pengetahuan yang berujung pangkal pada hubungan jual beli yang sarat dengan kaidah individualistik. Dengan kata lain, pendidikan bukan lagi pengetahuan yang mengasah humanisme untuk kemaslahatan umat.

Makanya jangan heran jika praktek jual beli ijasah instan semakin marak dilakukan. Temuan maraknya ijasah di Surabaya sebenarnya merupakan puncak dari gunung es praktek jual beli ijasah instan. Maklum, masyarakat kita terbiasa silau dengan gelar akademik. Semakin tinggi gelar yang disandang seseorang, maka akan semakin terangkat pula status sosialnya. Karenanya ijasah yang kerap menjadi incaran masyarakat gila gelar ini terutama ijasah sarjana, pasca sarjana dan doktor seperti; Drs, Dr, MA, MEd, MSi, MM, dan seterusnya. Lihat saja, di instansi pemerintahan. Banyak pejabat yang menyandang gelar akademik tinggi. Bahkan sampai tingkat doktor.

Bagaimana kualitasnya? Sungguh menyakitkan dunia pendidikan. Sebab diantara para Magister dan doktor itu kebanyakan tak bisa menuliskan pemikirannya ke media massa atau membuat penelitian bertaraf nasional. Dengan lain kata, logika dan retorika mereka stagnan. Mereka merasa cukup bangga dengan titel tinggi tapi memiliki kemampuan jongkok.

Tak heran jika negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini justru terpuruk karena Human Development Index (HDI) berada di urutan paling buncit diantara Negara dunia ketiga,. Merupakan negeri terkorup, salah satu negeri penghutang terbanyak, serta negeri yang berada tepat di depan jurang krisis ekonomi. Dan hal ini salah satunya disebabkan banyak masyarakatnya yang hanya sekedar menjadi intelektual instan. Cukup menyandang gelar kesarjanaan, meski hasil membeli.

Padahal, menurut D.J Drost (2005:80) ciri khas calon intelektual Indonesia yang matang adalah fasih dalam menguasai bahasa Indonesia, baik saat bertutur maupun saat menulis. tata bahasa dan ejaan harus dikuasai secara mutlak. Logika bahasa mencirikan segala cara berkomunikasi. Logika bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk selama mengenyam pendidikan, terutama lewat matematika dan bahasa Indonesia.

Matematika mengajar kita berpikir Logis. Namun karena matematika adalah ilmu kuantitas, perlu juga ditunjang pengetahuan yang lain. Seperti misalnya bahasa asing. Hanya saja yang paling menunjang dan memperluas perolehan lewat matematika adalah bahasa. Seseorang baru bisa bernalar dan bertutur dewasa baik dengan lisan maupun tulisan bisa sudah menguasai ortografi, gramatika dan sintaksis bahasanya sendiri.

Di samping itu, penting juga untuk menguasai tekhnologi. Karena dengan tekhnologi mereka dapat memperoleh informasi dengan mudah. Dengan begitu para intelektual akan mampu mengembangkan wawasannya. Sayang itu tak pernah terjadi di negeri ini. Bahkan para penyandang gelar S1, S2 atau S3 instan yang kini duduk di jajaran pejabar pemerintahan atau pendidik ada pula yang tidak dapat mengoperasikan Komputer. Apalagi Internet.

Yang jadi pertanyaan untuk apa menyandang gelar tinggi tapi tidak mumpuni secara dalam pengetahuan? Apalagi jika bukan untuk mempertahankan siklus feodalistik. Mempertahankan klas borjuasinya. Seperti mendapatkan kedudukan yang tinggi di birokrasi. Setelah kedudukan telah diraihnya, korupsi akan dijadikan pilihan untuk mengembalikan modal setelah dihabiskan untuk meraih gelar instan itu.

Kondisi diatas berbeda jauh dengan kondisi di negara-negara maju. Belum pernah Margaret Teacher memasang gelar Dra. Maupun MA. Apalagi Mikhail Gorbachev S.H!Bahkan untuk ilmuwan-ilmuwan penting, penggunaan gelar itu juga tidak lazim. Tidak pernah kita mendengar Prof. Dr. Charles Darwin, atau Prof. Albert Einstein PhD.(Eka Budianta, 1993;137-138). Ya. Di negara maju ukuran kemampuan seseorang bukan karena gelar yang disandangnya. Melainkan karya yang dihasilkannya. Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan tetapi mampu menciptakan pembaharuan, mereka akan dihormati.

Karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk mengakhiri semua fenomena yang melecehkan dunia pendidikan ini. Tidak cukup dengan menindak tegas oknum pelakunya saja. Kedepan harus segera dilakukan perombakan sistem pendidikan. Dari pendidikan yang bertujuan sekedar mencetak lulusan sebanyak-banyaknya, menjadi pendidikan yang melejitkan kualitas peserta didiknya. Dan mengembalikan pendidikan sebagai jalan pengangkatan manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh, tangguh dan membudayakan diri. Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi membantu manusia muda untuk berkembang menjadi manusia, bermoral, bersosial, berwatak, berpribadi, berpengetahuan dan beruhani. Artinya lulusan sekolah, terutama para sarjana tidak hanya fasih berteori, tetapi mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri bahkan di tengah badai krisis sekalipun.

Jujur saja negeri ini tak akan pernah maju dan masyarakatnya tidak akan pernah sejahtera jika dipegang oleh intelektual yang berangkat dan melambungkan namanya melalui kepalsuan. Yang terjadi justru korupsi dan penindasan yang kian menyakitkan.***

Tentang Penulis
Edy Firmansyah adalah Direktur People Education Care Institutes (PECI) Surabaya.

2 komentar:

Arsyad Indradi mengatakan...

Oh oh oh memang ini sangat menyedihkan terhadap pendidikan di negara kita.Gelar adalah kepongahan dan kesombongan. Pantaskah bersandang gelar tapi sesungguhnya hanya kosong belaka ? Duit rakyat melyaran terhambur percuma lantaran membiayai PNS dituntut harus bergelar sementara kualitasnya dikesampingkan. O sangat menyedihkan. Sertifikasi bagi guru yang bergelar seumur jagung apakah akan meningkatkan mutu pendidikan ? Ini tindakan yang tidak arip dan bijak sebab guru yang tdk bergelar tapi sarat pengalaman dan pengabdian tdk diperhatikan. Tunggu kehancuran !!!

Unknown mengatakan...

boleh saya tahu gambar yang digunakan judulnya apa ya?