WAKTU

JEDA

Minggu, 23 November 2008

Ancaman DBD dan Reformasi Sistem Kesehatan

Dimuat di SUARA KARYA, 12 November 2008


Ancaman DBD dan Reformasi Sistem Kesehatan
Oleh: Edy Firmansyah


Musim hujan kembali datang. Tiap kali tiba musim penghujan, yang paling dikwatirkan public selain bencana banjir, juga menyebarnya berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang kerap menyertai musim penghujan dan banyak memakan korban jiwa adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).

Dalam laporan Departemen Kesehatan, penyakit yang disebarkan oleh nyamuk aides aigepty ini sudah menjadi masalah yang endemis di 122 daerah tingkat II, 605 Kecamatan dan 1.800 Desa atau kelurahan. Pasalnya, setiap wabah penyakit ini menyebar, penderitanya meningkat drastis dan tak sedikit yang akhirnya meninggal. Di Jawa Timur, misalnya, pada tahun 2005 terdapat setidaknya 15.257 kasus DBD dengan 266 penderita meninggal. Tahun 2006 jumlah penderita meningkat menjadi 20.375 dengan 251 penderita meninggal.

Data diatas kemungkinan besar bakal meningkat. Pasalnya, program dinas kesehatan terkait pemberantasan demam berdarah masih bersifat konvensional. Misalnya, salah satu andalan pemerintah adalah program fogging. Padahal akibat fogging nyamuk justru mengalami mutasi gen. Dalam hukum darwinian, disebutkan bahwa mahluk hidup bisa bertahan hidup dan berkembang biak bukan lantaran besar dan kuat. Melainkan karena mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hukum darwin ini berlaku juga untuk perkembangan nyamuk aides aigepty.

Regenerasi hasil mutasi gen inilah yang sudah kebal terhadap fogging terus berkembang dan menyerang masyarakat. Salah satu contoh kasus yang menarik akibat mutasi gen ini adalah Kabupaten Banyumas. Kabupaten ini pernah dijadikan percontohan pemberantasan DBD tahun 2001. Namun tiba-tiba pada tahun 2002, diserang wabah malaria yang menewaskan ratusan warganya.

Karena itu Dinas kesehatan harus segera memikirkan cara pemberantasan DBD selain fogging. Misalnya dengan mengembangbiakkan predator nyamuk dan jentik nyamuk seperti; ikan koi dan katak. Selain cara ini lebih efektif dan aman, baik ikan koi maupun katak dapat dijadikan sumber penghasilan tambahan warga.

Selain itu, belum dioptimalkannya fungsi pelayanan di tingkatan puskemas juga menjadi faktor meningkatnya jumlah penduduk yang terserang DBD. Puskemas sebagai unit pelayanan kesehatan bagi masyarakat sebenarnya dapat mengambil fungsi sebagai pengolah informasi ksehatan di satu wilayah. Misalnya, secara berkala petugas di puskemas menyediakan data tentang sejarah penyakit endemi di suatu wilayah, lengkap dengan antisipasi dini dan cara pencegahannya dengan obat-obatan tradisional. Dengan demikian masyarakat sekitar memahami wabah penyakit potensial yang muncul di masyarakat, sehingga jauh-jauh hari sudah melakukan persiapan. Dengan demikian, masyarakat yang sakit akan semakin berkurang. Bukankah hal tersebut yang sejatinya merupakan keberhasilan sebuah puskesmas disamping kelengkapan fasilitasnya?

Ironisnya lagi, masyarakat justru diarahkan pada paradigma baru bahwa konsep sakit dan penyakit DBD hanya bisa diselesaikan dengan cara mengkonsumsi jasa dan obat-obatan yang diproduksi korporasi farmasi multinasional. Alih-alih menyehatkan masyarakat, para komprador di bidang kesehatan ini justru hendak meraup keuntungan atas pemasaran obat-obatan. Dan lagi-lagi masyarakat awam yang dirugikan.

Karenanya selama pemerintah tidak mengubah paradigma sehat dan sakit di masyarakat dengan konsep pembelajaran dan pencerdasan masyarakat mengenai seluk beluk penyakit dan cara mengatasinya secara mandiri, maka yang terjadi adalah ketergantungan. Dan jika keadaaan itu dibiarkan, penyakit akan terus menyerang masyarakat. Untuk itu, Melibatkan bakul jamu, sinse pengobatan cina, ahli akupuntur adalah hal yang mendesak. Dari mereka, masyarakat miskin akan belajar banyak hal mengenai penanganan penyakit. Sehingga lambat laun masyarakat akan mampu menangani wabah penyakit dengan kemampuannya sendiri, tanpa harus merepotkan pemerintah.

Kendala berikutnya adalah mahalnya biaya kesehatan. Benar memang pemerintah sudah memberikan subsidi kesehatan pada masyarakat, yakni berdasarkan UU NO. 45 tahun 1999 pasal 39 tentang kewajiban pemerintah membayar sebagian besar dari iuran layanan kesehatan. Ini bisa dilihat dengan pemberian kastu asuransi kesehatan (Askes) untuk PNS dan kartu Gakin untuk mereka yang miskin. Kendati demikian tarif pelayanan kesehatan justru dibiarkan melonjak antara 25 hingga 75 persen. Akibatnya, hanyak untuk menebus obat generic penurun panas saja, masyarakat tetap merogoh kantong lagi.

Makanya jangan heran jika masih banyak masyarakat yang lebih mempercayakan penyembuhan penyakit dengan cara supranatural ( baca; dukun) daripada penyembuhan secara medis (baca; dokter). Di Madura misalnya, tempat praktek dukun yang letaknya jauh di pelosok kampung bisa lebih ramai daripada puskesmas pembantu yang letaknya tepat dipinggir jalan. Karenanya selama biaya kesehatan masih mahal, maka wabah penyakit akan terus menghantui masyarakat.

Disamping itu rendahnya sisi kemanusiaan kalangan medis juga menjadi penyebab meningkatnya angka DBD dari tahun ke tahun. Sudah bukna rahasia umum lagi kalau orientasi kalangan medis mulai dari perawat, apoteker, bidan hingga dokter adalah orientasi uang. Mereka akan memberikan pelayanan prima pada pasien atau penderita yang berkantong tebal. Padahal menurut Patch Adams dalam bukunya Kisah Inspiratif Seorang Dokter Eksentrik yang Menyembuhkan Penyakit dengan Humor dan Kebahagiaan praktek kedokteran yang ideal adalah penyembuhan yang baik adalah dengan interaksi antarmanusia yang penuh kasih sayang, bukan transaksi bisnis.

Karenanya kaum profesional di bidang kesehatan harus ’berani’ mengulurkan tangan pada pasien yang menunjukkan rasa sakit dan kerapuhan mereka. Demi kesehatan pasien; staf, dokter harus berusaha keras membangun persahabatan dengan pasien secara mendalam. Sebab persahabatan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit. Dengan demikian penyakit apapun—termasuk DBD—akan semakin mudah diberantas.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pemerhati Kesehatan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: