Dimuat di SUARA KARYA, 12 November 2008
Ancaman DBD dan Reformasi Sistem Kesehatan
Oleh: Edy Firmansyah
Musim hujan kembali datang. Tiap kali tiba musim penghujan, yang paling dikwatirkan public selain bencana banjir, juga menyebarnya berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang kerap menyertai musim penghujan dan banyak memakan korban jiwa adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Ancaman DBD dan Reformasi Sistem Kesehatan
Oleh: Edy Firmansyah

Dalam laporan Departemen Kesehatan, penyakit yang disebarkan oleh nyamuk aides aigepty ini sudah menjadi masalah yang endemis di 122 daerah tingkat II, 605 Kecamatan dan 1.800 Desa atau kelurahan. Pasalnya, setiap wabah penyakit ini menyebar, penderitanya meningkat drastis dan tak sedikit yang akhirnya meninggal. Di Jawa Timur, misalnya, pada tahun 2005 terdapat setidaknya 15.257 kasus DBD dengan 266 penderita meninggal. Tahun 2006 jumlah penderita meningkat menjadi 20.375 dengan 251 penderita meninggal.
Data diatas kemungkinan besar bakal meningkat. Pasalnya, program dinas kesehatan terkait pemberantasan demam berdarah masih bersifat konvensional. Misalnya, salah satu andalan pemerintah adalah program fogging. Padahal akibat fogging nyamuk justru mengalami mutasi gen. Dalam hukum darwinian, disebutkan bahwa mahluk hidup bisa bertahan hidup dan berkembang biak bukan lantaran besar dan kuat. Melainkan karena mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hukum darwin ini berlaku juga untuk perkembangan nyamuk aides aigepty.
Regenerasi hasil mutasi gen inilah yang sudah kebal terhadap fogging terus berkembang dan

Karena itu Dinas kesehatan harus segera memikirkan cara pemberantasan DBD selain fogging. Misalnya dengan mengembangbiakkan predator nyamuk dan jentik nyamuk seperti; ikan koi dan katak. Selain cara ini lebih efektif dan aman, baik ikan koi maupun katak dapat dijadikan sumber penghasilan tambahan warga.

Ironisnya lagi, masyarakat justru diarahkan pada paradigma baru bahwa konsep sakit dan

Karenanya selama pemerintah tidak mengubah paradigma sehat dan sakit di masyarakat dengan konsep pembelajaran dan pencerdasan masyarakat mengenai seluk beluk penyakit dan cara mengatasinya secara mandiri, maka yang terjadi adalah ketergantungan. Dan jika keadaaan itu dibiarkan, penyakit akan terus menyerang masyarakat. Untuk itu, Melibatkan bakul jamu, sinse pengobatan cina, ahli akupuntur adalah hal yang mendesak. Dari mereka, masyarakat miskin akan belajar banyak hal mengenai penanganan penyakit. Sehingga lambat laun masyarakat akan mampu menangani wabah penyakit dengan kemampuannya sendiri, tanpa harus merepotkan pemerintah.

Makanya jangan heran jika masih banyak masyarakat yang lebih mempercayakan penyembuhan penyakit dengan cara supranatural ( baca; dukun) daripada penyembuhan secara medis (baca; dokter). Di Madura misalnya, tempat praktek dukun yang letaknya jauh di pelosok kampung bisa lebih ramai daripada puskesmas pembantu yang letaknya tepat dipinggir jalan. Karenanya selama biaya kesehatan masih mahal, maka wabah penyakit akan terus menghantui masyarakat.

Karenanya kaum profesional di bidang kesehatan harus ’berani’ mengulurkan tangan pada pasien yang menunjukkan rasa sakit dan kerapuhan mereka. Demi kesehatan pasien; staf, dokter harus berusaha keras membangun persahabatan dengan pasien secara mendalam. Sebab persahabatan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit. Dengan demikian penyakit apapun—termasuk DBD—akan semakin mudah diberantas.
TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pemerhati Kesehatan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar