WAKTU

JEDA

Jumat, 28 November 2008

Deforestasi dan Peta Penanggulangan Banjir

Dimuat di harian RADAR SURABAYA, 24 November 2008


Deforestasi dan Peta Penanggulangan Banjir
Oleh: Edy Firmansyah


Musim hujan kembali tiba. Masyarakat Jawa Timur mulai diliputi rasa rasa getir, waswas, dan khawatir. Kekhawatiran masyarakat Jawa Timur sangat beralasan. Pasalnya, pada musim penghujan tahun 2007 lalu, setidaknya ada 14 wilayah di Jatim yang terkena banjir dan tanah longsor. Wilayah tersebut diantaranya; Surabaya , Sidoarjo, Jember, Situbondo, Lamongan, Gresik, Bojonegoro, dan Tuban.

Akibat bencana tersebut, pemukiman penduduk, sawah, fasilitas sosial, rumah sakit, sekolah di wilayah tersebut tenggelam. Ribuan penduduk terisolasi dan kelaparan. Jalur transportasi juga lumpuh total. Kerugian nyaris tak terkirakan. Bayangkan saja, dalam hitungan kasar kerugian akibat banjir di 15 Kecamatan di Bojonegoro mencapai Rp 93,3 miliar. Kerusakan sawah dan tambak di Tuban mencapai Rp, 25,6 miliar.

Tentu saja sejarah kelam diatas tidak ingin terulang lagi. Hanya saja sepertinya alam belum mau bersahabat dengan kita. Buktinya, meski menurut ramalan BMG curah hujan masih normal, beberapa di Jawa Timur sudah dilanda banjir dan longsor.

Benar memang musim penghujan tahun ini pemerintah tidak tinggal diam. Beberapa persiapan mengantisipasi bencana akibat musim penghujan telah dilakukan. Pemerintah Kabupaten Lamongan misalnya, sudah mengaktifkan satuan pelaksana penanggulangan bencana. Mulai mengeruk embung dan waduk-waduk desa. Juga telah dibangun bendung gerak untuk mengendalikan banjir. Sementara itu pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga telah memperbaiki lima titik tanggul. (Kompas Jatim, 17/11/08)

Memang tidak ada yang keliru dari usaha pemerintah mengantisipasi bencana banjir. Hanya saja pemerintah belum pernah memikirkan untuk memperluas hutan di wilayahnya. Padahal berdasarkan data yang disimpan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) sejak tahun 1945 hingga masa reformasi tahun 1997 telah terjadi deforestasi sebanyak puluhan juta hektar. Di Sumetera, pada tahun 1945 luas hutannya mencapai sekitar 48 juta hektar, tetapi pada tahun 1997 tinggal 18 juta hektar. Di Sulawesi, luas hutan pada tahun 1945 sekitar 20 juta hektar. Namun pada 1997 justru menjadi 10 juta hektar. Di Jawa tak jauh beda. Jika pada tahun 1945 hutan di Jawa mencapai 10 juta hektar, pada tahun 1997 justru menyusut 10 juta hektar. Jadi kini tinggal 2 juta hektar saja.

Bahkan tak menutup kemungkinan angka deforestasi tersebut saat ini meningkat tajam mengingat pola pembangunan kita yang nyaris tidak pro-lingkungan (baca: hutan). Banyak hutan kita dibakar dengan sengaja karena ingin mendirikan pabrik, bangunan kapitalisme, dan lahan ekonomis. Pemegang HPH dan elite pemerintah yang berkepentingan dengan hutan sengaja menyewa orang guna membakar hutan di daerahnya dengan orientasi akumulasi surplus. Seperti membangun villa atau membangun ladang kelapa sawit demi kepentingan profit. Lemahnya aparat penegak hukum kita untuk menangkap dan memenjarakan para pembakar hutan, lenjarah hutan, penebang pohon dan semakin mempertegas deforetasi hutan kita. Dibebaskannnya Adelin Lis adalah salah satu contohnya.

Padahal hutan merupakan metode paling efektif mencegah banjir dan longsor. Berapapun derasnya air hujan yang jatuh tak perlu ditakutkan dan dikhawatirkan masyarakat. Karena hutan yang rimbun (yang berisi banyak pepohonan besar) masih mampu menampung air hujan berapapun volume air hujan yang jatuh pada suatu wilayah. Karenanya tak keliru jika Vandana Shiva, salah seorang aktivis lingkungan dan tokoh ekofeminisme India mengatakan; “Peluklah pohon kita, selamatkan mereka dari penebangan. Jaga hutan kita, maka hutan-hutan itu akan menyelamatkan kita.”

Hal berikutnya yang luput dari perhatian pemerintah soal antisipasi bencana adalah masih dijalankannya ’represi struktural.’ Represi struktural, dapat dirasakan pada kemunculan hegemoni bahasa, dimana hanya pejabat yang berkuasa yang berhak memberikan tafsiran atas realitas yang terjadi dalam masyarakat. Artinya, hanya pemerintah yang berhak menerjemahkan bencana banjir dan memberi solusinya.

Padahal selama berabad-abad lalu manusia memiliki sistem pertahanan hidup sendiri untuk dapat survive di daerah yang didiaminya. Mereka yang hidup menjadi bagian dari ekosistem sebuah wilayah telah mengenal betul lingkungan mereka degan baik. Analisa rasional mereka sangat bermanfaat demi kelangsungan hidup. Masyarakat di pesisir pantai misalnya, hanya dengan melihat gelombang laut dan perubahan rasi bintang sudah mampu memprediksi bakal terjadi tsunami besar. Tapi ilmu pengetahuan yang turun temurun itu lambat laun di’hancurkan.’ Anak petani, nelayan dan permabah hutan sudah tidak lagi mengenal itu semua, karena disekolah tak satupun ada pelajaran mempertahankan hidup terhadap alam. Untuk apa? Apalagi kalau bukan untuk menjauhkan mereka dari lingkungan hidupnya sehingga mudah terserap dalam kerja-kerja kasar sebagai buruh murah.

Karena itu, mengembalikan pengetahuan lokal masyarakat saat ini merupakan keniscayaan. Masyarakat harus kembali dibekali dengan ilmu pengetahun dan prediksi-prediksi alamiah mengenai gejala alam. Hal ini penting agar bencana dapat semakin mudah diantisipasi. Bukankah jika masyarakat pandai dan menguasai teknik-teknik analisa klimatologi (bahkan yang paling dasar) justru semakin memperingan beban pemerintah dalam mengantisipasi bencana?


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

1 komentar:

dr_arbai mengatakan...

Banjir n bencana lainnya sdh jadi acara tahunan. Mengapa bangsa kita ini sulit belajar dari kesalahan, ya?