WAKTU

JEDA

Minggu, 23 November 2008

Menghargai Rakyat Sebagai Pahlawan Sejati

Menghargai Rakyat Sebagai Pahlawan Sejati
Oleh: Edy Firmansyah


Pahlawan masih sering diidentikkan dengan seseorang yang memegang senjata dan terjun di medan perang serta bertempur habis-habisan melawan musuhnya. Bahkan untuk menjadi pahlawan orang harus terlebih dahulu gugur akibat peluru atau senjata musuh-musuhnya.

Karena itu jangan heran jika setiap memperingati hari-hari besar yang terkait erat dengan jasa para pahlawan, semisal; Memperingati Proklamasi Kemerdekaan hingga hari Pahlawan pada 10 November yang menjadi tujuan utama mengenang jasa para pahlawan adalah para veteran perang. Makanya tak heran jika Taman Makam pahlawan (TMP) jadi jujukan untuk menghormati pahlawan. Sebab di sanalah jasad para pahlawan disemayamkan.

Padangan di atas tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja terkesan terlalu sempit. Akibatnya gelar kepahlawanan hanya dapat diraih oleh segelintir orang saja. Yakni mereka yang memanggul senjata atau mereka yang terlibat langsung dengan hal ihwal mengenai kenegaraan. Mereka inilah yang ketika meninggal dan hendak disemayamkan pantas diiringi dengan upacara dan tembakan kehormatan.

Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Pahlawan sejati adalah seseorang atau mereka yang telah memperlihatkan sikap-sikap unggul dan terpuji dalam keberanian, kepeloporan, serta kerelaan berkorban dalam membela atau memperjuangkan kebenaran dan kepentingan rakyat kebanyakan. Bahkan mereka yang berkarater tinggi, berani, tenang dan dingin ditengah kemelut apapun, menempatkan manusia dalam martabatnya yang tinggi, tidak kemaruk harta, tidak menonjol-nonjolkan jasanya sendiri serta rendah diri juga pantas di sebut pahlawan.(Jacob Sumardjo, 2002)

Nah, dengan pemahaman yang lebih luas mengenai pahlawan tersebut, peluang jadi pahlawan menjadi terbuka bagi setiap orang tanpa harus mengangkat senjata apalagi mati di medan pertempuran. Sebutan atau gelar pahlawan terbuka bagi setiap orang asalkan ia memiliki sikap-sikap yang unggul dan terpuji dalam keberanian, kepeloporan, dan kerelaan berkorban dalam membela kebenaran serta memperjuangkan kepentingan seluruh manusia.
Pertanyaannya sekarang, siapakah yang memenuhi semua syarat untuk menjadi pahlawan sejati di negeri ini? Jawabannya adalah rakyat.

Kisah rakyat adalah kisah tentang kebersahajaan kehidupan yang penuh keikhlasan, pahit getirnya hidup serta kesadaran akan dirinya sebagai kawulo alit, sebagai rakyat bawah, rakyat kecil. Mereka tidak pernah menuntut macam-macam, apalagi minta disebut dan dihargai sebagai pahlawan. Mereka bukan orang yang gila penghargaan, bukan tipe orang yang gila sanjungan. Meski begitu mereka mampu menggerakkan sejarah.

Karenanya mengingkari keberadaan rakyat adalah dosa besar yang tak akan termaafkan. Tak ada bangsa yang mampu berdiri tegak tanpa keterlibatan rakyat. Dalam kisah-kisah perjuangan, keterlibatan rakyat adalah fakta mutlak. Partisipasi, peranan dan keterlibatan rakyat dalam merintis, memproklamasikan, mempertahankan dan mengembangkan negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI, tidak bisa ada dan terjadi begitu saja tanpa partisipasi rakyat. Bahkan peristiwa 10 November 1945 yang memakan korban sekitar 6.000 jiwa tewas tidak mungkin dikenang tanpa keterlibatan rakyat, baik secara fisik mental maupun material.

Ironisnya, eksistensi rakyat kian hari kian terpinggirkan, bahkan terlupakan. Di tangan partai politik, elite politik, wakil rakyat, lembaga swadaya masyarakat rakyat menjadi komoditas yang terus-menerus dieksploitasi tanpa henti. terus-menerus berkoar-koar memperjuangkan nasib rakyat tanpa ada realisasinya. Istilah rakyat lebih banyak diomongkan ketimbang diperjuangkan. Rakyat bagai barang dagangan yang ramai dan laris diperjualbelikan.

Partai politik ramai berkotbah di mana-mana, mengobral janji dengan mengatasnamakan dan memperjuangkan rakyat, kelak jika parpol menang aspirasi rakyat akan dikedepankan. Kenyataannya, saat parpol ada di lingkaran kekuasaan, rakyat pun terlupa dari ingatan.

Elite politik juga senada. Berkampanye atas nama rakyat tapi tuli dan buta terhadap aspirasi rakyat. Mereka asyik dengan kekuasaan. Mmeraup keuntungan sebanyak-banyaknya selagi sempat. Lembaga swadaya masyarakat tak henti-hentinya berkoar-koar dan rajin membuat proposal yang konon untuk kepentingan rakyat kepada lembaga donor asing. Sementara masyarakat semakin sesak napas karena lilitan kemiskinan, mahalnya kebutuhan hidup, ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan lainnya semakin kencang.

Karena itu peringatan Hari Pahlawan kali ini hendaknya dijadikan momentum untuk berefleksi, sudahkah penguasa negeri ini menghormati pahlawan sejatinya? Jika tidak, tak salah jika kemudian masyarakat luas mengutuk pemimpin negeri ini sebagai segolongan orang yang durhaka dan tak tahu terima kasih.***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Jurnalis Tabloid JEJAK. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Tidak ada komentar: