WAKTU

JEDA

Jumat, 21 November 2008

Perempuan dan Kekerasan Terhadap Anak

Dimuat di RADAR SURABAYA, 07 November 2008



Perempuan dan Kekerasan Terhadap Anak
Oleh: Edy Firmansyah



Anak-anak Indonesia masih belum sepenuhnya aman dari tindak kekerasan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perlindungan Anak juga tak cukup ampuh menjadi perisai bagi anak-anak. Buktinya, kekerasan masih terus menjadi hantu bagi anak-anak.

Ironisnya, berdasarkan data sekitar 60 persen pelaku tindak kekerasan terhadap anak justru dilakukan perempuan. Tindakan Nunik Wijaya, warga Kembang Jepun, Surabaya, yang dengan tega menyekap dan memukuli anak bungsunya, Andrew Louis, 9, hingga menangis dan menjerit kesakitan (Radar Surabaya, 5/11/08) merupakan puncak gunung es kekerasan perempuan terhadap anak-anak. Artinya, selain Nunik masih banyak perempuan lain yang tega berlaku kejam pada anak-anak.

Pertanyaannya mengapa perempuan yang kerap menjadi pelaku tindak kekerasan pada anak-anak? Bukankah perempuan selalu identik dengan sifatnya yang lemah lembut, penuh cinta kasih, cinta damai dan selalu mengutamakan keselamatan?

Menurut Dom Helder Camara dalam bukunya Spiral Kekerasan, kekerasan tak pernah berdiri sendiri. Ia lahir menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan terdahulu yang telah berjalin-kelindan. Lewat penelitiannya di Amerika Latin, Camara menerangkan bagaimana kekerasan itu berkelindan. Awalnya kekerasan lahir dibidani oleh egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok yang rakus. Berikutnya kekerasan pun muncul sebagai jawaban dari para pejuang keadilan yang mengangkat senjata untuk menumbangkan para penguasa lalim itu. Kekerasan akan kembali muncul sebagai satu-satunya jalan berpikir yang ada dari para penguasa untuk menumpas bentuk kekerasan kedua. Begitulah seterusnya, hingga nyaris tak henti-hentinya darah mengalir untuk menyuburkan dendam yang tak kunjung menuntas. Mirip seperti kisah keris Empu Gandring, kekerasan akan terus memakan korban jiwa, tidak hanya tujuh turunan tetapi sampai akhir masa.

Jika dikaitkan dengan kondisi perempuan Indonesia analisa Camara menunjukkan kebenarannya. Perempuan Indonesia tak lepas dari penindasan. Dari sebuah riset disebutkan bahwa setiap hari ada kasus pemerkosaan terhadap perempuan. Bahkan ada yang menemukan fakta lebih hebat lagi bahwa setiap 6 jam terjadi perkosaan seksual. Belum lagi kasus yang tidak pernah disadari orang sebagai kasus yakni pelecehan seksual, tampaknya sudah menjadi kegiatan spontanitas yang dilakukan dimana-mana. Daftar penindasan bisa bertambah panjang kalau kita memasukkan kasus perdagangan perempuan sebagai budak seks, hingga penganiayaan terhadap istri maupun pembantu rumah tangga.

Tak hanya itu perempuan masih mengalami penghancuran identitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik dan budayanya. Perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu dalam Pramoedya Ananta Toer, 2006). Parahnya lagi, para perempuan tidak sadar bahwa dirinya diekspolitasi. Mereka seakan pasrah saja bahwa keadaan yang menimpa dirinya adalah kodrat.

Dengan kata lain, menurut Gayatri Spivak dalam sebuah artikelnya yang booming dengan judul ‘Can The Subaltern Speak ?’, dijelaskan bahwa kaum perempuan merupakan kaum subaltern. Perempuan adalah manusia yang kehilangan suara kemanusiaannya.

Sikap diam itulah, dalam kacamata psikologi, kemudian menyebabkan akumulasi kemarahan bertumpuk dalam alam bawah sadar perempuan. Menurut Freud, sang psikolog analis, pengalaman traumatis yang telah tersimpan jauh di alam bawah sadar seseorang dalam kondisi tertekan akan menciptakan prilaku menyimpang melebihi dari efek trauma yang pernah dialaminya. Bukankah kerap juga kita dengar ada perempuan yang nekat membunuh anaknya sendiri? Juga tak jarang kita baca di media massa perempuan yang membakar suaminya sendiri?

Tindak kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap anak-anak juga merupakan bentuk eskapisme akibat dari penindasan yang dilakukan terhadap perempuan. Sayangnya, penindasan atau ekploitasi yang kerap mereka terima dari hukum patriakat justru mereka lampiaskan pada anak-anak. Baik itu pembantu yang masih berusia dini, anak tiri maupun anak kandung sendiri. Pasalnya, anak-anak merupakan mahkluk paling lemah yang gampang dijadikan pelampiasan emosi.

Karena itu, satu-satunya cara mengakhiri tindak kekerasan adalah dengan memotong siklus kekerasan itu sendiri. Tentu saja tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Lebih dari itu, para baik para korban maupun pelaku harus mendapatkan pendampingan dan terapi psikologi yang dalam. Sebab—meminjam analisa Freud—pelaku tindak kekerasan pasti pernah mengalami kekerasan serupa di masa lalunya. Sedangkan korban pasti mengalami trauma alam bawah sadar. Karenanya selama efek traumatis yang terbangun dalam alam bawah sadarnya tidak dibongkar, tidak menutup kemungkinan ketika dewasa nanti kekerasan serupa akan dilakukan pada anaknya.

Yang terakhir adalah membangunkan kembali kesadaran masyarakat yang telah lama mati, bahwa kekerasan apapun bentuknya adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan. Dan ketika pelanggaran itu terjadi, baik di lingkungan sekolah, rumah tangga maupun tetangga dan kerabat sendiri menjadi urusan kemanusiaan dan sudah selayaknya ditindak tegas. Sebab semakin sering kita atau anak-anak kita mengalami atau minimal menyaksikan tindak kekerasan, maka kekerasan akan terus menjadi bagian dari kehidupan kita bahkan menjadi budaya bangsa kita. ***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Pemerhati Masalah Psiko-Sosial. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Tidak ada komentar: