WAKTU

JEDA

Kamis, 13 November 2008

Mutilasi dan Historiografi Kekerasan Masyarakat

Dimuat di BALI POST, 06 November 2008


Mutilasi dan Historiografi Kekerasan Masyarakat
Oleh Edy Firmansyah*)


Akhir-akhir ini peristiwa pembunuhan, khususnya yang disertai mutilasi, kerap terjadi. Peristiwa tersebut terjadi di kota besar dan merambah ke daerah-daerah. Di Bali baru-baru ini kita dikejutkan dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa kepala. Mayat tanpa kepala yang ditemukan di Pering, Blahbatuh, Gianyar adalah Rizki bin Jaka alias Abot (29) berasal dari Desa Kademangan, Cisauk, Tangerang. Abot tinggal di Perumahan Dalung Indah, Badung. Pelakunya adalah SU (33) sekampung dengan korban, yang kos di Banjar Tegeh Sari, Desa Padangsambian Kaja, Denpasar Barat.

Di Tangerang, Sri Rumiyati dengan tega memutilasi suaminya, Hendra. Tubuh Hendra dimulitasi menjadi 13 bagian dan dimasukkan dalam delapan kantong plastik. Salah satu kantong plastik berisi potongan tubuh Hendra ditemukan di bus Mayasari Bakti P-24. Belum usai kasus Sri Rumiyati, kita kembali terperangah oleh ulah Roni bin Hasan (42) yang membunuh dan memutilasi tetangganya, Ahmad bin Mintra (67), warga Sukabumi. Berikutnya pada bulan Oktober, warga Cibinong-Bogor, Sainan alias Entong (60), membunuh dan memutilasi istri keduanya, Atikah (18).

Berbagai kasus pembunuhan mulitasi itu kerap dilatarbelakangi rasa marah, sakit hati, dan dendam pelaku terhadap korbannya. Kondisi tersebut tentu saja merupakan gejala sosial yang mengkhawatirkan. Artinya kemampuan masyarakat mengontrol rasa marah, keputusasaan dan ketidakmampuan menghadapi konflik dengan diri sendiri dan orang lain sudah di ambang batas.

Menuntaskan masalah anomali sosial di masyarakat semisal peristiwa pembunuhan dengan mutilasi ini tidak cukup hanya dengan menindak tegas pelakunya. Yang paling penting adalah mencari akar masalah maraknya tindak kekerasan di masyarakat. Apa yang membuat masyarakat semakin gampang menyelesaikan masalah dengan kekerasan yang berujung pada pembunuhan sadis?

Sejak dibukanya keran demokrasi dan kebebasan, televisi bukannya memberikan konter terhadap segala praktik kekerasan di berbagai pelosok Tanah Air, malah menjadikannya sebagai komoditas hiburan. Kekerasan dalam film, iklan dan berita dipertontonkan pada masyarakat secara vulgar yang tujuan utamanya ialah mengejar rating dan sukses pasar. Lihat saja, dalam berita-berita kriminal dengan vulgar menayangkan aksi tembak-menembak dengan penjahat, modus operandi para penjahat dan pembunuh tanpa sensor sedikit pun. Ditambah lagi dengan tayangan sinetron yang penuh adegan berdarah-darah dan berbau mistis semakin menyemarakkan ajang kekerasan.

Padahal menurut hasil studi kekerasan di media televisi AS oleh American Psychological Association tahun 1995, seperti dikutip S Jehel (2003:124), kekerasan dalam televisi dapat menghasilkan setidaknya tiga efek yang berbahaya bagi pemirsanya. Pertama, tayangan kekerasan dapat menyebabkan rasa takut sehingga akan menciptakan representasi dalam diri pemirsa betapa berbahayanya dunia.

Kedua, mempresentasikan program kekerasan meningkatkan perilaku agresif. Ketiga, memperlihatkan secara berulang-ulang tayangan kekerasan penyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban.
Karenanya memperketat tayangan televisi berbau kekerasan serta memberikan pendidikan kritis mengenai media adalah langkah yang paling efektif untuk menekan tindak kekerasan di masyarakat.

Spiral Kekerasan
Disamping itu negara sebenarnya memiliki andil lahirnya tindak kekerasan di masyarakat. Sebab, kekerasan adalah perkara yang sangat diabaikan dalam pemikiran dan penelitian mengenai Indonesia. Padahal sudah dapat dipastikan --sekalipun tanpa studi dan penelitian -- bahwa kekerasan adalah gejala yang paling bertahan dan berkelanjutan dalam kehidupan politik negeri ini. Bahkan, kekerasan belum pernah diatasi dengan memuaskan dan beradab selama sekurang-kurangnya empat abad terakhir di Nusantara (Kleden, 2004;208).

Negara masih kerap menggunakan cara-cara kekerasan untuk menciptakan 'kesejahteraan' dan rasa 'damai' dalam masyarakat. Sehingga yang terjadi kemudian kekerasan di negeri ini bagaikan sebuah kutukan keris Empu Gandring. Kekerasan akan terus memakan korban jiwa, tidak hanya tujuh turunan tetapi sampai akhir masa. Inilah yang disebut Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan. Ia lahir menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan terdahulu yang telah berjalin-kelindan.

Kekerasan di Indonesia sudah terjadi sejak zaman raja-raja di Nusantara. Berdirinya candi-candi, misalnya, bukanlah seperti yang diceritakan dalam hikayat atau cerita-cerita rakyat yang kita kenal di masa kecil. Menurut para sejarawan, pembangunan candi justru melibatkan ratusan bahkan ribuan masyarakat yang dipaksa menghamba pada raja-raja. Dengan kata lain megahnya Candi Borobudur dan Prambanan sebenarnya tak lepas dari pengorbanan rakyat dengan keringat dan darah. Kekerasan model ini terus berlanjut pada era kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang.

Memasuki zaman kemerdekaan tidak berarti menurunnya kekerasan. Setelah Westerling muncul sebagai koboi yang membantai ribuan orang hanya untuk membuktikan kepandaiannya menembakkan senjata api, muncullah berbagai gerakan bersenjata yang kemudian juga dihadapi dengan kekerasan oleh pemerintah Jakarta.

Ketika orde baru lahir kekerasan justru kian bergelora, menggunakan kekerasan politik justru untuk melanggengkan kekuasannya. Peristiwa G-30-S adalah salah satu bukti lahirnya orde baru dengan lumuran darah.

Sampai akhirnya orde baru tumbang, kekerasan terus saja tegak berdiri di negeri ini. Sudah empat kali pemimpin di negeri ini diganti pasca-Soeharto. Tetapi belum mampu memutus mata rantai kekerasan. Malah kekerasan seakan memberi warna pada setiap perjalanan pemerintahan pemimpin baru.

Karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah taktis untuk segera memotong mata rantai kekerasan di negeri ini. Memang penting memberikan hukuman yang setimpal pada pelaku tindak kekerasan, baik masyarakat maupun aparat tanpa pandang bulu. Namun semua itu tidak cukup efektif jika negara tidak memberi teladan untuk menghentikan kekerasan dalam segala bentuknya. Bukankah hingga kini negara kerap melakukan penggusuran, perampasan hak, hingga kekerasan pada demonstran lewat kekuatan koersifnya?

Jika negara sudah mampu menjadi ujung tombak gerakan antikekerasan maka pendidikan humanisme bagi masyarakat dan aparat akan optimal dilaksanakan. Tanpa itu semua, kekerasan hanyalah tinggal api dalam sekam.

* Penulis, adalah Jurnalis. Pemerhati masalah-masalah psikososial.

Tidak ada komentar: