WAKTU

JEDA

Rabu, 26 November 2008

Waria Juga Manusia Biasa

Dimuat di Harian SURYA, 20 November 2008


Waria Juga Manusia Biasa
Oleh: Edy Firmansyah

Tak banyak yang tahu jika tanggal 20 November diperingati sebagai hari Transgender/Waria Internasional. Maklum selain peringatan tersebut baru memasuki tahun ke sembilan, ternyata masih sedikit masyarakat yang menaruh simpati pada para transgender ini. Buktinya, aksi-aksi kaum waria tiap tanggal 20 November dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia justru dianggap angin lalu, bahkan disikapi sinis banyak kalangan masyarakat.

Padahal para transgender ini amat rentan mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan. Mereka masih kerap menjadi korban kekerasan dan pembunuhan, baik oleh perorangan, aparat hukum ataupun kelompok yang antiwaria atas dasar kebencian dan prasangka buruk. Salah satu peristiwa yang menjadi tonggak diperigatinya hari transgender ini adalah terbunuhnya seorang waria bernama Rita Hester di San Fransisco pada tahun 1998. Kasus tersebut tidak pernah terselesaikan hingga kini. Artinya, korban-korban lain yang senasib dengan Rita Hester kemungkinan besar terus bertambah. Barangkali razia Sat Pol PP terhadap para waria yang disertai dengan tindak kekerasan seperti menyeret, menjambak, mencemooh bahkan mencaci para waria adalah fenomena gunung es diskriminasi dan kekerasan terhadap para waria.

Sebenarnya apa yang membuat kaum transgender ini terus mengalami diskriminasi baik secara sosial, budaya, pendidikan dan politik? Menurut Foucault dalam Power/Knowledge pelabelan atas penyimpangan seksual direproduksi oleh rezim yang sedang menguasai, mengorganisisr, merumuskan dan mengkategorisasi makna. Artinya, apa yang disebut sebagai penyimpangan seksual merupakan bentuk hegemoni bahasa, dimana hanya yang berkuasalah yang berhak memberikan stigma normal atau tidak normal dalam sebuah komunitas masyarakat.

Transgender sebagai the minor term (baca: kelas pinggiran) tidak dikonstruksikan untuk keberadaan dan kepentingan kaum waria sendiri, namun justru untuk kepentingan kaum heteroseksual sebagai penyandang the major term. Secara politis para transgender/waria ini justru dianggap sebagai sebuah kegagalan the minor term dalam upaya menyesuaikan diri dengan identitas gender (feminin-maskulin) dab seksual (laki-laki – perempuan) yang telah terstruktur jelas di Indonesia. Kegagalan itulah yang kemudian digembar-gemborkan para pemegang kuasa makna melalui corong-corongnya (media, kebijakan dan sebagainya) sebagai acuan masyarakat untuk menolak mereka sebagai “warga negara yang baik” dan “normal” (Alimi dalam Kadir, 2007;80-81).

Padahal kalau kita membaca beberapa babakan sejarah di Nusantara, dapat kita lihat betapa kaum transgender dulunya merupakan bagian dari komunitas masyarakat. Mereka bisa hidup berdampingan baik dengan masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas. Artinya, fenomena transgender tidak muncul secara temporer di stasiun-stasiun kereta api, salon-salon, para desainer mode kelas menengah, penata rambut, peraga dan sejenisnya.

Dalam penelitiannya Benedict Anderson menyebutkan kaum bangsawan Aceh sering membeli laki-laki kemayu dari Nias (Seudati) untuk dijadikan “kesenangan” di ranjang maupun disuruh menari dengan berpakaian wanita. Bahkan nalam naskah Jawa kuno kehidupan waria terpampang jelas pada serat Centhini. Dalam naskah tersebut dikisahkan mengenai Nurwitri dan Cebolang yang diperlakukan sebagai pihak feminin ketika mereka bertemu dengan adipati di Kabupaten Daha.

Bahkan pengakuan terhadap transgender ini sudah pernah dilakukan Nabi Muhammad ketika menetap di Medinah. Kaum laki-laki yang tidak mempunyai hasrat terhadap perempuan ini biasa disebut mukhanath yakni mereka yang menetap di luar nilai-nilai seksual patriarki pada waktu itu dan bergaya layaknya perempuan. Dan pada waktu itu Nabi Muhammad menerima keberadaan mereka selama tidak merugikan tata nilai etis tertentu. (Al Haqq Kugle dalam Kadir, 2004;88). Artinya, bahkan Nabi Muhammad-pun telah mengajarkan kita untuk menghormati sesama manusia, karena manusia sejatinya sama dihadapan tuhan.

Sayangnya agama dan negara justru hendak mengingkari sejarah keberadaan para transgender. Susahnya para transgender ini mengurus KTP (terutama berkenaan dengan jenis kelamin), hingga keinginan untuk membina rumah tangga dengan kaum laki-laki. Bahkan kaum agamawan kerap menuding-nuding orientasi seks menyimpang yang justru menjadi penyebab krisis multidimensi di negeri ini. Padahal masalah tak akan pernah selesaiseberapapun kerasnya negara dan agama menekan para transgender. Mereka akan terus ada, karena mereka merupakan bagian dari peradaban manusia. Tindakan represif semacam itu justru malah akan menimbulkan perlawanan dan jika hal tersebut terjadi justru semakin memperumit keadaan. Saya yakin para pemegang kekuasaan tak menginginkan itu terjadi bukan?

Karena itu memberikan hak penuh bagi para transgender sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pilihan bijak. Memberikan kesempatan bagi para transgender untuk berkativitas dibidang politik, sosial, budaya, pendidikan dengan damai dan tentram ditengah-tengah para heteroseksual adalah keputusan paling manusiawi. Sebab waria juga manusia, punya hati punya rasa. Masalahnya bagaimana dengan kita? Adakah hati dan rasa kita untuk mereka?


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Tidak ada komentar: