WAKTU

JEDA

Selasa, 25 November 2008

Peta Penanggulangan Kemiskinan

Dimuat di Harian PELITA, 20 November 2008




Peta Penanggulangan Kemiskinan
Oleh: Edy Firmansyah


Kemiskinan di negeri ini masih dalam kondisi memprihatinkan. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Bahkan angka diatas kemungkinan besar meningkat drastis pasca kenaikan BBM sebesar 26, 8 persen beberapa waktu lalu. Dengan kenaikan BBM harga seluruh komoditas (yang sebelumnya telah merambat naik) menjadi semakin tak terjangkau melonjak. Akibatnya transaksi antarkota, antar propinsi dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan berhenti total. Sebab harga barang dagangan tak akan mampu bersaing karena harus menyesuaikan dengan biaya transportasi yang juga akan naik.

Dengan kondisi tersebut jelas banyak usaha yang gulung tikar. Sehingga PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Berdasarkan perkiraan Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15, juta jiwa.

Jika kondisi diatas dibiarkan maka malapetaka akibat kemiskinan sebagaimana diramalkan Susan George dalam bukunya The Lugano Report: On Preserving Capitalism in Twenty-first Century (1999;2003), ada di depan mata. Menurut Susan George kemiskinan yang terus meningkat akan menghasilkan jutaan masyarakat kelas bawah yang tidak lagi memiliki tempat di pemukiman kota dan di dalam ekologi. Kondisi ini bukan hanya dapat meningkatkan intensitas konflik, kriminalitas dan anarkisme dalam masyarakat, melainkan juga menciptakan kerusakan lingkungan.

Gejalanya sepertinya sudah mulai terasa. Diperkotaan tindakan kriminal, tawuran, pembunuhan terus meningkat tajam. Sementara di pedalaman kita saksikan sekitar 10 juta warga miskin kita yang mencari apapun, termasuk membabat hutan demi mendapat makan. Karena tuntutan perut mereka merusak lingkungan. Untuk hal ini, masyarakat miskin memang tidak bisa dipersalahkan begitu saja. Masalah kemiskinan adalah masalah negara. Sebagaiamana termaktup dalam UUD bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Masalahnya adalah sudahkah upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan optimal??

Kalau merujuk pada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan yang diadopsi menjadi Bab 16 dari Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 kita dapat membaca metode kemiskinan dengan metode participatory poverty assesment (PPA) sesuai harapan banyak organisasi non pemerintah. Metode tersebut sebenarnya merupakan upaya mengembalikan analisa kemiskinan pada ’fitrah’nya. Yakni membaca kemiskinan dengan narasi-narasi kualitatif yang tak lazim dipakai kaum tekno-ekonom. Sehingga penanggulangan kemiskinan bergerak berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan merujuk pada budaya lokalnya dan kemampuan orang miskin menentukan kebijakan ekonomi politiknya sendiri, bukan upaya penanggulangan kemiskinan hanya sekedar menurunkan angka statistik.

Sayang, dokumen itu tidak dijadikan road map penanggulangan kemiskinan. Dokumen itu menjadi tak ada artinya saat negara (dalam hal ini konspirasi legislatif-eksekutif) memproduksi legislasi kebijakan makro-ekonomi yang berkiblat pada pasar dan investasi (baca;neoliberalisme), sesuai dengan petuah lembaga multilateral dan donor multilateral yang menjadi sumber utang pendanaan pembangunan.

Salah satu kebijakan yang sebenarnya anti pemberdayaan kemiskinan adalah digulirkannya Bantuan Langsung Tunai (BLT) sekitar 3 Trilyun rupiah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Dapat kita saksikan berbondong masyarakat mendaftarkan diri menjadi pengemis. Kita saksikan kaum miskin dan orang-orang yang pura-pura miskin rela antre sembari ‘menengadahkan tangan’ sebagai pesakitan guna mendapatkan talangan dana dari pemerintah. Padahal cara semacam itu tak pernah mampu membebaskan masyarakat miskin dari lubang hitam kemiskinan. Yang terjadi justru ketergantungan masyarakat miskin pada dana bantuan. Dan ini menyebabkan mereka malas dan enggan bekerja keras memperbaiki nasib.

Benar memang ada program pemerintah yang digulirkan dengan mengusung platform pemberdayaan masyarakat seperti PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Namun program tersebut belum sepenuhnya membebaskan masyarakat dari kemiskinan. Program ini cukup berhasil dalam membuka akses sosial ekonomi masyarakat seperti pembangunan jalan dan jembatan (juga sekolah). Tapi masyarakat tak pernah tahu atau diberi tahu bagaimana menjawab kemiskinan yang obyektif. Sehingga infrastruktur yang dibangun tak ubahnya monumen penanggulangan kemiskinan belaka. Disamping itu, dana dari program ini masih menjadi bancaan para birokrat, para kepala desa, dan fasilitator program.

Padahal kita tahu masyarakat miskin adalah masyarakat paling gigih dalam survive melawan krisis. Lihatlah para PKL. Digusur ribuan kali mereka terus berjualan dengan segala cara dan motif. Justru ditengah keterjepitan dan ancaman hidup mereka memeras otak agar bisa terus makan. Termasuk makan nasi aking atau pelepah pisang. Dengan semangat hidup itu sebenarnya mereka memiliki potensi untuk bangkit dari kemiskinannya. Tinggal bagaimana pemerintah yang bekerja sama dengan ornop pro masyarakat miskin dan partai progresif melakukan pendampingan untuk mengubah nasib mereka baik secara ekonomi maupun politik. Karena itu agenda mendesak dalam penanggulangan kemiskinan adalah melepaskan diri dari cengraman neoliberalisme dan menyusun kembali strategi kemiskinan sesuai kondisi riil masyarakat.

Menghamba pada neoliberalisme terbukti semakin membuat kaum miskin kian terpojok. Lihat saja, mereka makin susah sekolah dan tak bisa dirawat di RS karena tak bisa membayar uang muka, tak ada air bersih dan tak punya rumah. Sebagian yang lain banyak terkena gangguan jiwa. Benar memang dengan kondisi tersebut akan banyak mengucur bantuan-bantuan lembaga donor. Tetapi kesannya bukan membebaskan masyarakat miskin, melainkan menjadikan mereka sebagai tumbal kebijakan penanggulangan kemiskinan berbasis pasar.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Jurnalis. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Tidak ada komentar: